PROGRAM
PENDIDIKAN ALTERNATIF
Eksposur Bandung: Sekolah
Alam Bandung (SAB)
Ruang Kreatif ‘Taboo’ dan Saung
Angklung Udjo
Stube-HEMAT Yogyakarta mengadakan program pelatihan Pendidikan Alternatif.
Program ini dilatarbelakangi bahwa pendidikan merupakan hak setiap orang di
Indonesia, tetapi pada kenyataannya pendidikan masih merupakan kesempatan yang
mewah. Dengan GNP (Gross National Product) $ 174, ini berarti $ 0.8 per kapita,
Indonesia masih harus berjuang keras untuk memperoleh tingkat pendidikan yang
layak.
Ribuan pulau yang
tersebar di Indonesia menimbulkan kesulitan tersendiri dalam memberikan standar
dan fasilitas yang sama untuk pendidikan. Ada banyak daerah tertinggal terutama
yang berada di kawasan sulit seperti pegunungan dan terpencil, misalnya di
kawasan Indonesia bagian Timur. Walaupun pendidikan membutuhkan fasilitas untuk
mencapai kualitas, demi mendapatkan esensi pendidikan, seseorang dituntut
mencari pendidikan alternatif. Munculnya pendidikan alternatif terbentuk karena
keprihatinan atas pendidikan di Indonesia.
Tujuan Program Pendidikan
Alternatif ini adalah 1) Menemukan model-model pendidikan alternatif yang
memberi inspirasi kepada peserta untuk melaksanakan pendidikan alternatif di
daerah terpencil dengan mengangkat muatan lokal. 2) Inspirasi tersebut
diharapkan dapat melahirkan aktivis untuk pendidikan non formal. 3) Mampu
memetakan potensi-potensi dan hambatan pendidikan di daerah asalnya. Demi
mewujudkan tujuan tersebut, peserta pelatihan melakukan eksposur (kunjungan) di
Sekolah Alam Bandung (SAB), Ruang Kreatif Taboo, Dago Pojok, Bandung dan Saung
Angklung Udjo di Bandung, 23-25 September 2011
Perjalanan menuju Sekolah Alam Bandung (SAB) berawal dari teminal Dago Atas berjalan kaki ke arah barat dan kemudian menyusuri jalan setapak menuju kawasan SAB. Di SAB kami bertemu dengan Eko Kurnianto sebagai perintis dan pengelola SAB. Ia
berasal dari Kutoarjo, Jawa Tengah dan sejak tahun 1998 mulai belajar
mengenai sekolah alam. Tahun 2007 mulai mencari pengalaman akademik mengenai
sekolah alam dengan mengambil Strata 2.
Memang sekolah ini memberi
batasan jumlah siswa sebagai konsekuensi supaya pendidikan dapat berjalan
optimal, semacam kuota. Mengenai pendampingan anak didik tidak dibatasi kekritisan
mereka, dan bahkan anak-anak dilatih untuk kritis terhadap suatu permasalahan.
SAB didirikan sebagai bentuk perlawanan dari pendidikan konvensional, di mana mayoritas
pendidikan yang konvensional di Indonesia telah membuat daya kritis dan
kreativitas generasi bangsa terbungkam. Sejak TK hingga perguruan tinggi, siswa
dididik untuk tidak boleh kritis dan kreatif. Sebagai contoh, mahasiswa yang
kritis terhadap kebijakan rektor akan diancam di-DO, atau siswa SD yang kritis
dan kreatif dianggap anak nakal dan pembuat onar hanya karena mereka ingin
menyatakan sesuatu yang berbeda. Siswa yang sering bertanya dianggap mengganggu
ketenangan kelas.
Mengenai kurikulum di SAB,
memang menekankan proses pembelajaran yang disampaikan secara active dan fun,
karena secara umum anak-anak akan lebih suka berada dalam ruangan yang informal,
terbuka dan bebas dibandingkan dengan suasana yang formal, tertutup dengan
lingkungan yang terbatas. Sumber belajar bisa bersumber dari obyek alam,
dari alam itu sendiri karena inspirasi-inspirasi di dunia pendidikan
selalu melalui alam, munculnya dari alam. Kurikulum disini hanya ada dua
yaitu, yang dibuat oleh guru, dan oleh anak-anak itu sendiri.
Dalam berkreasi di
lingkungan sekolah yang terbuka dan bebas, anak dapat menikmati waktu sekolah mereka,
sehingga pengembangan nilai kreativitas dan kemampuan dirinya menjadi lebih
efektif. Proses ini bisa dilakukan di bawah pohon, seperti sekolah pada
jaman dulu, atau di pinggir kolam, tapi jangan sampai nyemplung. Sebenarnya
dalam proses ini guru lebih tepat disebut sebagai fasilitator pendidikan.
Komentar
Posting Komentar