Pemahaman
Mengenai Gender
Apa itu
GENDER, mengapa kita perlu memahaminya? Pertanyaan pertama yang dilontarkan
kepada para peserta oleh Ariani Narwastujati, S.S., M.Pd, fasilitator diskusi
“Pemahaman mengenai Gender” di Stube HEMAT.
Yohanes,
salah seorang peserta diskusi mencoba menyoroti cerita Alkitab yang harus
diakui bahwa pihak laki-laki (ayah) masih lebih dominan dari pada perempuan, seperti cerita Abraham dan Sara, Daud dan Betsyeba,
atau Ratu Wasti. Cerita-cerita itu berdasar
tradisi yang terjadi masa lampau. Sehingga dalam penerapan pada masa ini harus direkonstruksi dengan membangun pemahaman cerita dengan wacana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. “Nah gender disini bisa dipahami sebagai paham yang mencoba memberi
perspektif bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan,”
imbuhnya.
Sementara Trustha mengingatkan bahwa kaum perempuan secara budaya masih
terpinggirkan dalam beberapa cerita Alkitab, karena yang masuk dalam daftar
silsilah adalah laki-laki. Namun perlu dicatat juga bahwa ada beberapa kaum perempuan memegang peranan yang sangat
penting. misalnya Maria, Rahab, Rut, Debora, Maria Magdalena, dan Ester. Dalam konteks
kehidupan Indonesia saat ini, Maria melihat bahwa di daerah Adonara, NTT, kaum
perempuan yang kuliah pasti ditertawakan, karena dianggap tidak biasa,
lebih-lebih mereka yang kuliah di luar pulau dan merantau jauh, karena mereka
beranggapan bahwa perempuan tidak perlu mencari ilmu tinggi-tinggi. Bahkan
kebiasaan setempat memberlakukan kaum perempuan
untuk mengambil makanan belakangan setelah kaum pria pada saat jamuan-jamuan
makan.
Gender sering diidentikkan dengan jenis
kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis
kelamin. Secara
etimologis kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti
‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Proses panjang perbedaan gender antara seorang pria
dengan seorang wanita terjadi dan dibentuk oleh kondisi sosial budaya dan kondisi keagamaan. Karena proses yang
panjang ini, gender sering
dianggap bersifat kodrati dari Tuhan atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah. Selanjutnya, konstruksi sosial budaya, nilai-nilai,
mental, emosi-emosi dan faktor lainnya diluar faktor biologis inilah yang
dipakai untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga muncul
hal-hal seperti larangan perempuan tertawa keras, keluar malam, warna merah
jambu adalah warna perempuan, perempuan hanya untuk bekerja di wilayah domestik
keluarga, perempuan harus patuh kepada laki-laki dan lain sebagainya.
Dari
diskusi ini peserta belajar memahami gender dan pembedaan antara laki dan
perempuan berdasarkan konstruksi sosial yang ada inilah yang sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya
ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat. ***
Komentar
Posting Komentar