Cerdas Membaur Meski Multikultur
Kehidupan yang
beranekaragam tidak bisa dipungkiri dalam realita sehari-hari. Konteks kehidupan seperti ini di Indonesia sudah sejak lama terjalin. Maka dari
itu Negara ini
memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Kehidupan yang
beranekaragam ini dalam bahasa populer disebut Multikultural. Perbedaan yang ada secara alami tidak menjadi masalah
dalam masyarakat, tetapi ketika migrasi penduduk semakin pesat maka pergesekan
antar budaya menjadi sangat kelihatan. Gesekan budaya itu akhirnya menjadi
permasalahan identitas dari sebuah kelompok masyarakat dari daerah tertentu seperti bisa dicermati pada dampak transmigrasi. Rasa senasib dan
sepenanggungan di tanah perantauan secara psikologis mendorong orang untuk
membentuk sebuah komunitas.
Arus migrasi pelajar
dari berbagai kota dan daerah menuju Yogyakarta yang memiliki banyak perguruan tinggi, terjadi cukup
tinggi setiap tahunnya dan tidak dapat dipungkiri terjadi pergesekan budaya
yang berbeda. Pergesekan budaya yang berbeda bisa menjadi
nilai yang positif karena dapat saling melengkapi, tetapi juga bisa mengarah
kepada hal yang negatif ketika perbedaan tidak dapat diterima atau bahkan memicu konflik antar kelompok.
Pelatihan Multukultur yang dilaksanakan dari tanggal 30 Agustus sampai
dengan
1 September
2013 oleh Stube HEMAT menjadi sangat penting untuk memahami perbedaan dan
pergesekan budaya yang beragam. Mengambil tema Cerdas Membaur Meski Multikultur, pelatihan ini membawa peserta memahami
makna multikultur, menyadari adanya multikultur dalam kehidupan sehari-hari, meminimalisir
gesekan budaya yang mengakibatkan konflik, stigma, juga Culture Shock.
Pelatihan ini diawali
dengan materi pengantar Multikultural oleh Tim Stube HEMAT, dilanjutkan
keesokan harinya materi Multikultural di Indonesia: Penyebab, ragam dan
urgensinya oleh DR. Ir. Sri Suwartiningsih, M.Si., staf pengajar sosiologi
UKSW, Salatiga. Culture Shock menjadi
salah satu topik menarik dalam pelatihan ini yang dibahas dengan pendekatan
psikologi oleh Drs. Thomas Aquino Prapanca Hary, M.Si., staf pengajar psikologi
UST, Yogyakarta. Adapun sikap multikulturalisme dalam keseharian disampaikan
oleh William E. Aipipidely, S.T., M.A, dari Yayasan Satu Nama.
Selama proses
pelatihan para peserta diajak berefleksi, instropeksi, menganalisa dan
memetakan lingkungan dimana ia berada, suku dan budaya, kebiasaan-kebiasaan
yang selalu dijumpai juga mengenal budaya lain dari antar peserta melalui
diskusi. Ketika para peserta melakukan eksposure bersama ke Desa Turgo, mereka
banyak belajar mengenai kearifan lokal penduduk setempat, nilai kebersamaan,
toleransi, keramahtamahan, persaudaraan, penghargaan terhadap alam dan kehidupan
yang saling menjaga.
Selamat menindaklanjuti!
Komentar
Posting Komentar