10. Sembilan Puluh Persennya Kemana?
Saya
Yulian L.A. Sembiring, dari Wonosari, Gunungkidul. Saat ini sedang menempuh
studi di jurusan Ilmu Informatika, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Memang
mengejutkan apa yang disampaikan Prof. Slamet yang saya temui saat saya
mengikuti kegiatan eksposur yang diadakan oleh Stube HEMAT sebagai rangkaian
Pelatihan Pendidikan Global ke museum Ki Hadjar Dewantara, Tamansiswa. Beliau
sampaikan bahwa orang rata-rata baru memakai 10 persen dari kemampuan otaknya.
Hal ini memberikan makna supaya kita lebih mengoptimalkan kinerja otak. Oleh
karena itu otak harus selalu digunakan untuk hal-hal yang positif dan
membangun. Beliau juga memberikan 5 kiat sukses yaitu, kita harus memulai lebih awal, hidup lebih cerdas,
bekerja lebih keras, bekerja lebih cepat, dan memikirkan yang belum dipikirkan
orang lain.
Hal
lain yang saya dapatkan adalah tentang keteladanan. Salah satu narasumber
mengatakan kalau orang lebih percaya pada apa yang kita perbuat daripada apa
yang kita katakan. Jadi kita diminta untuk menjadi teladan dalam tingkah laku
kita. Seperti seorang Guru yang harus memberikan contoh nyata pada
murid-muridnya melalui perbuatanya. Pernyataan tersebut selaras dengan ajaran
Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarsa Sung
Tuladha, memberi contoh di depan.
Saya
juga diingatkan kembali tentang Visi dan Misi yang sudah saya buat untuk hidup
saya. Apapun Visi Misi itu, baik jangka pendek ataupun jangka panjang harus
kita lakukan dengan tekun dan tidak boleh asal-asalan. Kita dapat memulainya
dari hal-hal kecil dulu dari diri kita sendiri, seperti tertulis dalam Lukas 16
: 10 "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam
perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil,
ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar".
Saya
belajar melakukan hal sederhana yang bisa saya lakukan dan menjadi tanggung
jawab saya dalam rangka mewujudkan visi besar hidup yang sudah dibuat.***
11. Pendidikan Kesadaran
Kritis sebagai Sarana Mempersiapkan Generasi Bangsa Millenium.
Saya Paulus Eko Kristianto, dari Surabaya, saat ini sedang
menempuh studi tahap akhir Ilmu Theologi, Fakultas Theologi Universitas Kristen
Duta Wacana Yogyakarta.
Wacana pendidikan global sudah
didengungkan pada pemuda sejak menyongsong abad ke-21. Berbagai alternatif
mulai ditawarkan yang ujung-ujungnya berbasis internasional. Hal ini mengandung
langkah strategis di mana pemuda diajak untuk bersaing di publik internasional.
Namun di sisi lain, langkah ini juga memiliki paradoksnya tersendiri. Paradoks
bahwa mentalitas inlander mampir ke
kancah pendidikan nasional Indonesia. Apakah seharusnya demikian? Rasanya
tidak, pemuda memang harus bersaing dalam dunia global namun mereka harus tetap
memegang nilai-nilai kebangsaan perjuangan. Semangat ini dibawa oleh para atlit
yang berjuang di perhelatan olah raga internasional, contohnya Sea Games.
Rupanya, warna ini ditangkap
Stube-HEMAT sebagai lembaga yang mendampingi mahasiswa dengan memfasilitasi mahasiswa
berbagai pelatihan multi issue termasuk Pelatihan Pendidikan Global. Bagi saya,
usaha ini perlu diberi apresiasi. Walaupun, tiada gading yang tak retak. Stube
pun kurang memberikan distingsi kuat dalam memetakan antara pendidikan
nasional, pendidikan alternatif, dan pendidikan global dalam pelaksanaannya
walaupun TOR sudah mengarah ke sana. Ketiga corak tersebut memang ada dalam
dunia pendidikan dan terkesan overlapping.
Tapi bukan berarti, semua berjalan bertabrakan karena semua memiliki idealisme
tujuan pendidikan sendiri-sendiri. Pendidikan nasional membidik kajian corak
dan karakteristik pendidikan nasional turunan dari kemendiknas menuju tingkat
lokal melalui tataran formal. Sedangkan, pendidikan alternatif mencoba
mengkritisi pendidikan nasional yang kian meresahkan dan memojokkan aspirasi
dan perkembangan naradidik sehingga para pedagog menawarkannya dengan
memanfaatkan kearifan lokal. Kemudian, pendidikan global menghelat persiapan
partisipasi pemuda dalam kancah globalisasi abad ke-21.
Bercermin pada diskursus pendidikan
tersebut, saya menawarkan pola pendidikan baru yang mulai harus disajikan dalam
mengimbangi abad ke-21 ini yakni pendidikan kesadaran kritis. Banyak hal
disajikan globalisasi abad ke-21 tetapi ‘penumpang’ harus peka dan kritis dalam
membaca dinamikanya. Dinamika barulah ditangkap bila mereka sedia bergabung dan
masuk dalam praksis kemudian berefleksi bersamanya. Kalau poin ini sudah
ditangkap, maka transformasi pendidikan menjadi ajang plus untuk mengembangkan
praksis dan ini dibutuhkan kerja keras. Akhir kata, selamat mencoba!
Komentar
Posting Komentar