Pendidikan: Antara
Harapan dan Kenyataan
Wisma PGK Shanti Dharma,
Godean, 11 – 13 Oktober 2013
“Diakui
atau tidak, pendidikan Indonesia masih dipengaruhi oleh sistem pendidikan dari
luar negeri, dan belum banyak menggali nilai-nilai pendidikan dalam negeri”,
demikian Dr. Dwi Siswoyo M.Hum, kepala Prodi S3, Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogyakarta menyampaikan materinya pada pelatihan Pendidikan Global yang
diadakan oleh Stube HEMAT Yogyakarta. “Akan lebih memprihatinkan lagi apabila
masyarakat Indonesia menjadi konsumen Budaya Barat dan mendangkalkan
nilai-nilai budaya luhur Indonesia”, imbuhnya mengutip tulisan HAR. Tilaar.
Dalam kondisi pendidikan semacam ini anak-anak muda khususnya mahasiswa harus
lebih banyak memperlengkapi diri menghadapi tantangan global dengan mengakses
kesempatan-kesempatan serta peluang kerjasama.
Tunggul
Priyono, SH., M.Hum., dari KOPERTIS wilayah 5 Yogyakarta membuka pintu
lebar-lebar untuk segala informasi bagi mahasiswa. Sementara itu Eko Prasetyo,
Direktur Social Movement Institute, yang dikenal dengan bukunya “Orang Miskin
Dilarang Sekolah” menggugah semangat para peserta dengan kritik-kritik terhadap
sistem pendidikan yang membatasi dan mengurung daya kembang anak didik,
sehingga anak didik tidak mampu mengembangkan imajinasinya. Selain itu ia juga
mendorong peserta untuk belajar dan berkembang melalui organisasi yang diminati.
Hal ini juga digarisbawahi oleh narasumber lain, yakni Markus Budiraharjo,
Ed.D., dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Bertumbuhnya seseorang tidak
bisa lepas dari konteks lingkungan dimana dia berasal dan interaksi positif yang
membantu pertumbuhan optimal. Secara khusus, kemampuan seseorang berkompetisi di
tingkat global, didasari keteguhan memegang nilai-nilai kehidupan dan berpikir holistik.
Eksposur
atau kunjungan ke Museum Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta, menjadi sebuah
kegiatan untuk mengingat kembali seorang pioner pendidikan nasional beserta
pemikiran-pemikiran beliau yang visioner serta keberpihakannya untuk mendidik
anak bangsa. Sementara itu, eksposur di INFEST (Institute for Education
Development, Social, Religious, and Cultural Studies) mengajak peserta belajar
bagaimana membangun kemandirian dalam teknologi informasi, serta melakukan
pemberdayaan desa melalui pendampingan masyarakat pedesaan.
Menanggapi
pelatihan pendidikan global yang diikuti,
J.F. Anugerah Sihaloho, mahasiswa UKDW mengungkapkan, “Informasi dan
pengetahuan yang saya dapatkan di Stube ini belum tentu saya dapatkan di luar bahkan
di tempat saya berkuliah. Cakrawala pemahaman saya tentang pendidikan menjadi
lebih luas dan saya bisa mengoreksi diri.” Peserta lain yakni Claudia Betruchy
Bada, mahasiswa Pendidikan Matematika, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa,
menambahkan, “Apa yang sudah saya pelajari dalam pelatihan ini akan saya
bagikan kepada yang lain. Dengan kompetisi global dan kenyataan pendidikan yang
ada saat ini, saya merasa harus terus belajar dan menemukan hal baru untuk
menambah pengetahuan saya”.
Beberapa kegiatan
peserta sebagai aksi tindak lanjut adalah menulis refleksi pribadi tentang
pendidikan, kegiatan belajar
bersama anak-anak usia sekolah di sekitar kos di kampung Celeban, Yogyakarta,
pendampingan belajar untuk anak-anak usia SD di kampung Maguwoharjo, Sleman, diskusi
dan observasi desa untuk melihat potensi pengembangan suatu desa, dan pemberdayaan
unit kegiatan mahasiswa dengan melakukan audiensi dengan Kopertis mengenai
peluang kegiatan pengembangan diri mahasiswa dan akses studi di luar negeri.
Disela-sela
pelatihan di atas, dua mahasiswa peserta eksposur lokal ke Halmahera dan Papua
berkesempatan membagikan temuan-temuan mereka kepada para peserta pelatihan.
Memang diakui bahwa banyak hal ataupun permasalahan yang harus ditangani serius
di daerah, khususnya untuk penanganan pengelolaan alam dan pemeliharaan
lingkungan. Untuk itu diharapkan, mahasiswa-mahasiswa dari luar Jawa yang telah
selesai studi di Yogyakarta untuk segera kembali dan berkontribusi membangun
daerahnya.(TR)
Komentar
Posting Komentar