7. Ternyata
Beda! Lebih termotivasi.
Saya
Septi Dadi, dipanggil Putri, dari Sumba Timur, NTT. Saat ini sedang menempuh studi
di jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Pada
awal mengikuti kegiatan STUBE–HEMAT, dalam benak saya adalah, ”Ah pasti
kegiatannya gitu-gitu saja, dan membosankan”. Bayangan itu muncul karena saya
belum berkenalan dengan STUBE–HEMAT dan tidak tahu lembaga itu seperti apa.
Saya bersyukur bahwa apa yang saya pikirkan itu tidak menjadi kenyataan, malah sebaliknya
lagi sangat menyenangkan.
Dari
serangkaian pelatihan yang di berikan kepada kami, saya mendapat banyak
pengetahuan baru dan inspirasi baru. Pelatihan ini mengubah pola pikir saya
untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan daerah tercinta untuk membuat suatu aksi
kreatif yang berguna. Cara berpikir yang awalnya hanya memikirkan kesuksesan
diri sendiri dengan pengetahuan yang dimiliki, dapat berkembang untuk
memikirkan kesejahteraaan masyarakat, karena sebagai generasi muda saya punya
tanggung jawab untuk memberikan suatu perubahan yang positif untuk masyarakat
khususnya daerah saya nanti.
Saya termotivasi untuk melakukan
suatu kegiatan yang bermanfaat dan membangun. Saya juga ingin memotivasi kaum
muda untuk lebih peduli kepada lingkungan dan masyarakat. Saya setuju untuk membuat
sesuatu yang berguna harus dimulai dari hal kecil. Kalau bukan kita siapa lagi?
***
8. Kita Bukan Gombal1 Diterpa Globalisasi
Fajar Dwi Kristyawan |
Saya Fajar Dwi Kristyawan, dari Jawa Timur, mahasiswa Theologia, Universitas
Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
Pendidikan memampukan seseorang menghadapai
tantangan di masa depan sehingga Pendidikan Global merupakan isu hangat. Namun demikian proses pendidikan menghadapi Globalisasi
tak selalu menguntungkan apalagi jika kita tidak waspada menghadapainya, kita bisa
hanya menjadi gombal di negeri kita sendiri.
Pertama kali mendengar Pendidikan
Global, saya mengira bahwa itu adalah sebuah model pendidikan yang bersifat mengglobal
atau mendunia, yang akan mengatasi semua pendidikan di seluruh antero bumi. Karena
itu, pelatihan kali ini akan membekali peserta dengan teknik-teknik khusus dalam
mendidik dengan model yang dapat diterima di seluruh penjuru dunia. Ternyata, bukan
model pendidikan yang mendunia yang saya dapat, tetapi lebih fokus membahas bagaimana
pendidikan kita diperhadapkan dengan konteks globalisasi yang sudah mulai membadai
di kehidupan kita. Pendidikan di negeri ini kurang siap menghadapi gempuran badai
globalisasi.
Gempuran itu nyata bahkan pengaruh-pengaruh
dunia luar sudah banyak menjamur. Sebagai contoh pengaruhnya di dunia pendidikan.
Beberapa waktu yang lalu, sekolah-sekolah gencar memproklamirkan diri sebagai sekolah
berstandar internasional. Bahkan banyak sekolah,
baik swasta atau negeri berkompetisi menjadi sekolah Internasional dengan fasilitas
dan komponen-komponen persyaratan yang dibutuhkan. Dalam perjalanannya, sekolah-sekolah
tersebut menuai kritikan pedas karena terkesan tidak Indonesia, karena malah tidak
mencerminkan Pancasila sang pedoman negara.
Globalisasi tak dapat kita hindari, karena
sudah merupakan bagian dari perubahan dan perkembangan jaman. Perkembangan teknologi
dan infomasi yang semakin pesat, memunculkan istilah gagap teknologi atau gaptek
bagi yang tidak bisa mengikutinya. Kalau begitu semakin lama kita bisa kembali terjajah
dan tertindas oleh pihak luar. Oleh sebab itu kita harus bisa mengatasinya dengan
tepat, sehingga kita tetap memiliki identitas diri sebagai bangsa Indonesia tanpa
menjadi komunitas eksklusif yang justru mengerdilkan dan memprimitifkan kita. Di
sinilah peran pendidikan diperlukan untuk menghadapi gempuran badai globalisasi
yang semakin menderu.
Selama mengikuti proses pelatihan selama
tiga hari ini, saya menemukan satu hal yang menurut saya penting untuk menghadapi
globalisasi dari segi pendidikan. Satu hal itu adalah kemauan kita sendiri dalam
berproses mendapat pendidikan. Proses pendidikan seperti tempat kita berpetualang
dalam menimba ilmu, tak hanya dalam ruangan formal terbatas saja, melainkan juga
belajar dari luasnya rimba kehidupan manusia. Kita pun akan menjadi pribadi yang
mampu bersaing di kancah yang lebih luas dan tinggi dengan karakter kita masing-masing.
Dengan demikian kita tidak akan menjadi
gombal di negeri sendiri, menjadi orang pinggiran yang terbuang ketika orang lain
menikmati kekayaan negeri ini. Kita harus berani menjadi petualang untuk
mengetrapkan ilmu bagi kesejahteraan manusia dan bertahta di singgasana negeri sendiri.
Mari kita tunjukkan bahwa kita bukanlah gombal yang terkulai dan terbawa begitu
saja diterpaan badai globalisasi.
1 Gombal adalah bekas baju yang sudah tidak terpakai yang biasanya sudah sangat kotor dan tidak utuh lagi karena lebih sering digunakan sebagai ganti kain lap
9. Belum Utuh
Merata
Yohana H. Sambung |
Saya
Yohana H. Sambung, biasa dipanggil Ira, dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dan sedang
menempuh studi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bethesda Yogyakarta.
Isu-isu yang
berkaitan dengan pendidikan global dan globalisasi mendorong kita melakukan
identifikasi dan mencari titik-titik simetris yang bisa mempertemukan dua hal yang
tampaknya paradoksal, yaitu pendidikan Indonesia yang berimplikasi nasional dan
global. Dampak globalisasi memaksa banyak negara meninjau kembali wawasan dan
pemahaman mereka terhadap konsep bangsa, tidak saja karena faktor batas-batas
teritorial geografis, tetapi juga aspek ketahanan kultural serta pilar-pilar
utama lainnya yang menopang eksistensi mereka sebagai nation state yang tidak memiliki imunitas absolut terhadap intrusi
globalisasi.
Perkembangan
dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan
global, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar
bebas juga merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia. Untuk
menghadapi pasar global maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat
meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-akademik, dan
memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta
memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Tantangan
yang saya alami sampai sekarang ini dari saya Taman Kanak-kanak sampai menjadi
seorang mahasiswa adalah menyesuaikan diri dalam kurikilum yang selalu berbeda.
Di satu sisi itu sangat baik karena mengikuti perkembangan era globalisasi, tetapi
para pemegang kebijakan kurang memikirkan para pendidik dan anak didik. Di mana
para pendidik harus berusaha keras menyesuaikan kurikulum tersebut untuk dapat
diterapkan dan dengan mudah diterima anak didiknya.
Dari
hasil pelatihan yang saya ikuti, saya bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa pendidikan
di Indonesia belum seutuhnya merata. Di daerah pelosok negeri ini masih banyak
pelajar yang belum mengenal teknologi, buku yang digunakan masih buku lama,
kurikulum yang seharusnya dapat cepat diterapkan tapi kenyataannya lama karena
kurangnya tenaga pendidik. Dari berbagai fenomena dan
kondisi pendidikan saat ini, bangsa Indonesia seharusnya segera berbenah dan
menyadari jangan sampai pendidikan Indonesia terpuruk jauh. Penerapan
nilai-nilai karakter bangsa bukan sekedar pelengkap pendidikan yang dipenuhi
secara formalistik-administratif belaka, tetapi nilai-nilai karakter adalah
jiwa, ruh, dasar dan tujuan utama pendidikan nasional seperti yang dinyatakan
Ki Hadjar Dewantara. Tak sekedar mencapai prestasi akademik (cerdas otak),
tetapi memiliki budi pekerti luhur yang menjadi inti utama pendidikan nasional
kita.***
Komentar
Posting Komentar