Yohanes Dian Alpasa
Pada sebuah
pertemuan diskusi, seseorang mengatakan di dunia barat, dirinya melihat surga,
tetapi tidak melihat Tuhan. Ada banyak tempat yang memukau dan konstruksi manusia
sungguhlah menawan. Namun, banyak orang tidak percaya sang Khalik. Di Sumba,
aku melihat Surga sekaligus Tuhan. Kehidupan sehari-hari bersalut bersama
ungkapan iman setiap minggunya. Hanya saja, aku belumlah menemukan, sebenarnya
ada apa di Sumba sehingga beberapa sudut geografisnya masih menyimbolkan
kemiskinan yang amat sangat?
Sesungguhnya
setiap perjalanan selalu menghadirkan pelajaran. Aksen bahasa yang khas, budaya
yang asli dan belum bercampur, sistem birokrasi yang membutuhkan pembenahan,
dan kehidupan iman yang konsisten tidak banyak berubah di lingkungan gereja,
itu semua terjadi di Sumba, sejauh interpretasiku terhadap mereka.
Di Surga ini, sekali
lagi kau dapat melihat Tuhan. Di mana-mana terjadi, kekeluargaan itu dijunjung
tinggi. Tuhan sungguhlah di tengah-tengahnya. Pertama kali menjejakkan kaki
saya mendengar salam sapa. Teguran dari saudara-saudara di Sumba sungguhlah
ramah. Keramahan ini bahkan belumlah banyak saya dapati di Bengkulu, tanah saya
dilahirkan, maupun di Yogyakarta, tempat saya menempuh studi teologi.
Setiap orang,
baik kenal ataupun tidak, masing-masing seolah berlomba untuk melempar sapaan
terlebih dahulu. Ini terjadi di Waingapu dan di Praipaha, dua tempat yang
pernah saya jejak dan tinggali. Ucapan ”selamat” untuk mengawali pertemuan dan
sapaan menjadi hangat di telinga. Bahkan aku merasakan kedekatan dengan mereka.
Terkait dengan
kekeluargaan itu, ada dua hal yang aku lakukan. Pertama, mencium hidung orang
yang kutemui. Cium hidung adalah simbol bahwa kami sudah dekat, lekat, dan
diterima secara karib. Hanya beberapa saat saja saat dua hidung bersinggungan,
itu sudah cukup memupuk persahabatan diantara kami. Aku merasa senang dengan
cium hidung ini sekalipun hanya mengalaminya dua kali. Itupun bersama seorang
pendeta emiritus dan seorang mama disana. Kedua, kedekatan ditandai dengan
penghargaan mengunyah ramuan yang terbuat dari Sirih, Pinang kering, dan kapur.
Ketiganya dikunyah sebagai sambutan. Setiap orang yang datang bertamu akan
disuguhi dengan sirih, pinang, dan kapur laut/gunung.
Untuk menerima
penghargaan itu maka aku mengunyah. Pertama yang dikunyah adalah pinang. Kedua
sirih yang disalut kapur halus. Pertama teman-teman Sumba agak heran melihatku
mengunyah. Bagiku tidak masalah karena di Jogja aku sudah berlatih bersama
Fran, seorang temanku yang menempuh Studi Matematika di Universitas Sarjana
Wiyata Tamansiswa (UST) Yogya. Mulanya aku bermaksud untuk menerima penghargaan
itu. kukunyah dan terasa pahit getir, lalu menjadi hambar, dan kemudian segar.
Setiap kali aku mengunyahnya maka gigiku terasa kuat dan tidak sakit lagi.
sebenarnya ada dua hal yang kudapat dari sirih itu yaitu penghargaan dan
kesehatan gigi.

Satu hal lagi
yang kudapati di Sumba, bahwa kekeluargaan itu rupanya memerlukan pengembangan.
Orang dapat saling membantu saudaranya yang membutuhkan, tetapi baiklah dirinya
juga memikirkan kebutuhan sekolah anak dan kebutuhan rumah tangga. Ada saja
orang yang rela keluarganya berkekurangan demi membantu saudaranya berpesta.
Bantuan itu tetap diserahkan sementara anak masih butuh biaya studi. Namun,
pada beberapa tempat di Sumba telah mengembangkan adat lebih bijak dengan tidak
memotong hewan terlalu banyak pada setiap perayaannya. Demikian kiranya bahwa
Surgaku tetaplah menjadi kenangan di hatiku. Kiranya aku bisa kesana untuk menikmati
keindahannya lagi.
Komentar
Posting Komentar