Logistik,
Logika dan Hati
Refleksi
Exploring Sumba
Spread your little wings
and fly away, fly away, far away, pull yourself together, cos you know you can
do better that’s because you‘re a free man.
Penggalan lirik lagu Queen di atas merupakan salah satu pemicu yang
memotivasi saya mengikuti program eksploring
Sumba.
Logistik. Minggu pertama dan kedua, saya mencoba berbagi dengan
kelompok ibu-ibu yang konsen pada pertanian organik yang bernama Rinjung Pahamu, yang berarti Ingin Baik. Kelompok ini terbentuk dari kegelisahan ibu-ibu akan
melonjaknya harga komoditas hortikultura impor
di pasaran. Mereka memiliki lahan pertanian seluas 25 are (2.500 m2) yang terletak
di desa Wangga. Kelompok ini
mengajar saya akan
arti berbagi, karena meskipun pendapatan masing-masing anggota yang berjumlah 25 orang tersebut masih di bawah garis kemiskinan,
namun rasa senasib sepenanggungan mengalahkan ego setiap individu, di tengah bangsa yang
pejabatnya menonjolkan ego pribadi, sementara pemuda-mahasiswanya hanya pintar text-book yang berpihak pada para pemilik modal. Semoga mereka belajar pada
ketulusan ibu-ibu sederhana nan lugu ini.
Logika. Minggu ketiga saya fokus
untuk berbagi ilmu peternakan babi dan lingkungan. Mereka menanggapi topik ini dengan cukup antusias, sebab
Sumba tak bisa lepas dengan peternakan, terlebih untuk kebutuhan adat. Topik lingkungan
yang terkait dengan tambang, menimbulkan perdebatan alot dikalangan mahasiswa,
ada pro dan kontra. Sebagian besar menolak tambang dengan berbagai argumentasi
demikian halnya sekelompok kecil yang bisa menerima proyek itu. Namun diakhir
diskusi semua bersama-sama menyamakan visi, yakni pada dasarnya diterima atau
ditolaknya usaha tambang tersebut tak lepas dari daya dukung lingkungan dan
masyarakat.
Hati. Hari-hari terakhir di
Sumba diisi
dengan mengunjungi beberapa tempat di wilayah Sumba selatan. Tanggal 15 Juli 2014,
kami mengikuti pembukaan sidang Sinode GKS (Gereja-Gereja Kristen di Sumba)
yang diselenggarakan di Ramuk, sebuah desa kecil bahkan mungkin terpencil di
lereng Gunung Wanggameti. Kondisi jalan yang rusak tak menyurutkan niat kami
untuk sampai ke tujuan. Kekesalan akan beratnya medan terhapus oleh indahnya alam Sumba dengan untaian bukit dan lembah yang terjalin memanjang seakan
membentuk
lukisan alam. Sungguh merupakan
pemandangan yang eksotis. Saat saya di daerah Tana Rara, tempat ini memiliki tanah merah yang menawan, warnanya pink dan jarang ditemukan di daerah lain. Selanjutnya
daerah Tarimbang memiliki potensi wisata pantai yang luar biasa,
sayang PEMDA setempat belum optimal mengelolanya, sehingga salah satu warga Jerman yang bernama Peter mencoba
memanfaatkan potensi tersebut dengan membangun cottage di puncak bukit yang
menawarkan pemandangan indah lepas
pantai Tarimbang.
Satu bulan di
Sumba memberi saya pemahaman teologis bahwa “saya bukan dari dunia, jangan
mengejar harta dunia, persiapkanlah hartamu di langit dan bumi baru nanti,
kerjakanlah untuk Allah lewat sesamamu manusia, dimanapun mereka berada
termasuk di Sumba”. Akhirnya, terima kasih Keluarga Ka Lius, Ka Yanto, Pdt
Domi, Abner, Yoga, Anton, Pak Daniel kelompok tani Rinjung Pahamu, teman-teman
GMNI, GMKI cabang Sumba Timur terkhusus Stube HEMAT yang telah memberi
pelajaran berharga bagi kami, semoga program ini adalah halaman awal dari buku
interaksi dengan pulau Sumba. (SRB)
Komentar
Posting Komentar