MEMBEDAH RADIKALISME
DAN EKSKLUSIVITAS
DI KALANGAN ANAK MUDA
Semua orang pasti terhenyak dan tidak
habis pikir saat mengetahui bahwa banyak anak muda terjerat masuk
kelompok-kelompok radikal. Beberapa keluarga lapor polisi bahwa mereka telah
kehilangan anak-anak mereka selama beberapa hari, bahkan beberapa bulan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bagaimana bisa seorang mahasiswa dari
universitas ternama di kota ini dicuci otaknya sehingga tertarik masuk dan
terlibat dalam jaringan fundamentalis dan bahkan radikal?
Pemuda GKJ Mergangsan bersama Stube
HEMAT menggelar acara diskusi malam pada hari Kamis, 21 Agustus 2014, yang
diikuti dengan antusias oleh sekitar dua puluh lima orang pemuda-pemudi.
Menempati ruang aula belakang, diskusi malam itu mengundang Eko Prasetyo,
direktur Social Movement Institute sebagai nara sumbernya, dipandu oleh Yohanes
Dian Alphasa, swalah seorang anggota tim kerja Stube HEMAT.
“Radikalisme muncul tidak semata-mata
dilatarbelakangi ideologi, tetapi karena terbatasnya ruang publik masayarakat
untuk bisa bertemu. Setiap hari, setiap saat, bertemu dengan orang-orang itu saja.
Sama jurusannya, sama asal daerahnya, sama agamanya lagi! Mana ruang publik
untuk anak muda berinteraksi dengan yang lain yang berbeda?” kritiknya. Eko
Prasetyo dibesarkan dikalangan pesantren yang taat, bahkan bergaul dengan yang
bukan muhrimnya dianggap tabu. Titik
balik keterbukaannya terjadi setelah tiba di Yogyakarta untuk menempuh kuliah
di Fakultas Hukum UII dan banyak berjumpa dengan perbedaan, bahkan diskusi
pribadinya dengan mendiang Romo Mangun. “Generasi muda Indonesia kurang dilatih
bekerjasama dalam perbedaan. Sekolah-sekolah dengan basis agama berkontribusi
secara tidak langsung menanamkan eksklusivitas,” imbuhnya.
Menurutnya beberapa hal yang turut
berkontribusi memunculkan semangat radikal adalah rasa kekecewaan dan merasa menjadi
pihak yang dikalahkan oleh sistim politik dan struktur sosial yang
mengkotak-kotakkan manusia. Rasa percaya diri yang berlebihan atas diri,
kelompok dan komunitasnya membuat orang merasa lebih tinggi dari yang lain dan rasa
tersebut menyuburkan eksklusivitas.
Verdy, ketua Pemuda GKJ Mergangsan
menyatakan bahwa dia baru saja mengikuti
workshop temu pengurus organisasi pemuda lintas agama yang diselenggarakan oleh
Departemen Agama DIY yang dirasa cukup mewadahi untuk interaksi dan perjumpaan
lintas agama, meskipun diakui bahwa forum-forum tersebut masih terkesan
formalitas. Menanggapi hal itu, Jalu
salah seorang pemuda peserta diskusi menghimbau kepada semua pemuda yang hadir
bahwa srawung yang dalam bahasa
Indonesia disebut bermasyarakat atau berbaur menjadi satu kegiatan yang
sangat penting dilakukan karena dengan pertemanan dekat dan tulus, maka segala
perbedaan dan rasa saling curiga bisa dihilangkan.
Diskusi malam itu ditutup dengan satu
tekad bahwa pemuda GKJ Mergangsan bertekad ‘membuka gerbang gereja’ mengikat
tali persaudaraan dan siap bekerjasama dengan siapa saja. ***
Komentar
Posting Komentar