Tinggal Dalam Setengah Bulatan Bola
Apa
yang terlintas di pikiranmu ketika membaca kalimat di atas? Pasti sedikit
membingungkan bukan? Hidup tak pernah bisa diterka, kita tidak tahu apa yang
akan terjadi esok. Seperti juga halnya masyarakat yang tinggga di Desa Nglepen
ini. Desa ini dahulu adalah sebuah desa
biasa tetapi semenjak gempa, maka desa ini berhias menjadi sebuah desa wisata.
Gempa
bumi Jogja Tahun 2006 tidak hanya menyisakan kisah duka karena kehilangan
anggota keluarga, rumah dan segala harta benda mereka tetapi juga sebuah inovasi
arsitektur rumah untuk tinggal dan bangkit dari semua kesedihan guna berbenah
diri menata hidup. Dari beberapa tawaran NGO terkait bentuk rumah, warga Nglepen
memilih rumah dome sebagai ganti rumah
mereka yang hancur. Maka dibangunlah 80 unit rumah dome (71 rumah hunian, 7 sebagai fasilitas umum) di atas tanah
seluas 2,3 hektar bekas kebun tebu sebagai ganti desa Nglepen lama.
Dengan
bergotong-royong, sebuah rumah dome
dapat diselesaikan dalam satu hari. Setiap rumah dome memiliki diameter sekitar tujuh meter. Sebuah rumah dome
terdiri dari 2 kamar tidur yang ditata di lantai dua, ruang tamu, ruang
keluarga, dan dapur. Selanjutnya kamar mandi dan WC dibangun terpisah dan
merupakan fasilitas umum yang disediakan untuk dipakai bersama dalam setiap
blok yang terdiri dari enam kepala keluarga. Kebersamaan yang terjalin
diharapkan bisa menjaga hubungan sosial dan kemasyarakatan di antara mereka.
Pajak
tanah sebesar sebelas juta rupiah, selama tiga tahun pertama masih ditanggung NGO,
untuk selanjutnya per-rumah dibebani pajak sebesar Rp. 137.000,-/tahun.
Pembangun kompleks perumahan dome ini dimulai pada bulan September 2006 dan diresmikan
pada bulan Mei 2007. Dengan model arsitektur dome, bangunan ini diklaim sebagai rumah anti gempa karena hanya
memiliki kedalaman 20 cm sehingga tidak mudah roboh ketika diterjang gelombang gempa.
Rumah
dome ini merupakan hal baru bagi
adik-adik siswa SMPK Tirta Marta-BPK Penabur, Jakarta yang didampingi Loce dari
Stube HEMAT Yogyakarta saat melakukan kunjungan sekaligus belajar di tempat
tersebut. Sulasmono selaku fasilitator dan nara sumber dari perumahan dome Nglepen bersemangat menjelaskan
kisah masyarakat setempat untuk bangkit meneruskan hidup, meski harus
menyesuaikan diri tinggal di rumah dome.
Tak lupa Sulasmono mempromosikan Nglepen sebagai desa wisata, khususnya
arsitektur rumah.
“Memang
untuk bisa ‘survive’ orang harus terbuka, fleksibel dan belajar beradaptasi
dengan hal-hal baru, sebagaimana masyarakat Desa Nglepen yang tinggal di rumah
setengah bola”, pesan pendamping menutup perjumpaan siang itu. (Loce)
Komentar
Posting Komentar