Rasanya Seperti
M i m p i
Refleksi Exploring Sumba
Elisabet N. Listiawati
Program Exploring Sumba mengantarkan saya ke Pulau Sumba. Selama 30 hari
saya berada di Para Marapu sebutan untuk pulau Sumba atau juga Sandlewood. Saya tinggal di rumah tim
Stube-HEMAT
Sumba yakni Yulius Anawaru di kecamatan Wanggawatu, Waingapu, Sumba Timur.
Sampai di Bandara Umbu Mehang Kunda Waingapu, Tim Stube HEMAT Sumba yakni
ada Om Lius, Om Yanto dan Pendeta Domi sudah datang menjemput dan langsung
menuju sekretariat Stube-HEMAT Sumba. Kesan pertama adalah betapa panasnya kota Waingapu ini. Setelah
perkenalan singkat dengan tim kerja, saya diantar menuju rumah Om Lius. Saya senang
karena disambut dan diterima baik oleh keluarga ini.
Di sinilah awal saya
mengaplikasikan ilmu yang saya peroleh selama kuliah dan membagikannya sehingga
bermanfaat untuk orang lain. Sejujurnya, saya belum pernah melakukan perjalanan
dan hidup di luar Jawa, tetapi niat dan tekad saya untuk belajar, dan melihat
situasi serta keadaan di luar Pulau Jawa yang tentu berbeda membuat saya selalu
bersemangat.
Saya belajar memahami bahwa tidak semua orang bisa menikmati kemudahan
yang saya rasakan selama tinggal di Jawa, seperti makanan, akses jalan,
transportasi, komunikasi, informasi dan lain sebagainya. Saya kaget dengan
makanan yang biasa dikonsumsi oleh kebanyakan keluarga di Sumba yang rasanya
hanya asin padahal saya tidak suka makanan asin, walaupun demikian tidak
masalah, karena setiap kendala, masalah dan perbedaan itulah yang menjadi
pembelajaran dan pengalaman yang dapat menjadikan saya menjadi pribadi yang
lebih baik. Saya takjub dengan keindahan alam, dari padang sabana yang
terbentang luas, pantainya yang indah dengan pasir putih air jernih dan
bebatuan yang berdiri gagah mengawal pantai, bukit-bukit, air terjun hutan dan
semua yang ada yang tidak akan pernah bisa saya jumpai kecuali di Sumba.
Saya juga banyak belajar dari teman-teman dan kini menjadi
saudara-saudara baru untuk saya mulai dari budaya, bahasa, kebiasaan, tata
krama, kuliner, pariwisata dan lain-lain. Saya sangat terkesan dengan penerimaan
mereka atas apapun situasi dan kondisi yang terjadi, mereka tetap damai
walaupun gaya bicara yang jauh berbeda, tetapi saya mengerti maksud mereka. Saya
berusaha membagikan ilmu bidang saya sebanyak mungkin pada tiga kelompok
perempuan tani di sekitar kota Waingapu. Kami sharing mengenai perkembangan pertanian di Sumba Timur di mana para petani belum
melakukan pertanian berbasis modern seperti pertanian berkelanjutan, pertanian
terpadu, pertanian organik sehingga sistem yang diterapkan cenderung
konvensional. Mereka berharap bisa mengakses informasi dan membagikan kepada
anggota kelompoknya.
Pengolahan
pascapanen, tomat rasa kurma
di Kambera, Sumba Timur"
Pengolahan rempah (jahe) untuk minuman,
di Nggaha Ori Angu, Sumba Timur
Berbagi dengan teman-teman mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) bagaimana membuat proposal dan penyusunan laporan
sangat menyenangkan. Proposal harus ditulis dengan benar, jelas dan lugas. Hal
ini sangat penting karena dengan kemampuan menulis proposal pengabdian
masyarakat seperti ini akan membantu kita mengembangkan diri mengasah ilmu, dan
bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. Teman-teman mahasiswa ini penuh semangat,
rasa ingin tahu mereka sangat tinggi, kreativitas dan kebersamaan mereka sehingga
saya berharap mereka bisa memanfaatkan ilmu dan pengalaman yang telah saya
bagikan dalam membuat program dan proposal. Saya juga berharap mereka memiliki
daya juang yang tinggi dan semangat pantang menyerah hingga proposal mereka
lolos.
Inilah pengalaman saya selama di tanah Para Marapu. Suka duka,
canda tawa, tangis dan bahagia telah saya lalui dan saya sangat senang diterima
di tengah saudara-saudara di Sumba yang sudah memberikan saya nama Sumba Rambu
Anawulang. Mengikuti program Eksploring Sumba adalah pengalaman yang tidak
ternilai dan tak akan pernah saya lupakan.** (ENL)
Komentar
Posting Komentar