Eksposur Pelabuhan Sadeng dan
Pantai di Gunungkidul
Jumat – Minggu, 28 – 30 Agustus 2015
Jumat,
28 Agustus 2015 merupakan hari yang dinanti oleh peserta program ekonomi
Kelautan, mengapa? Karena hari itu mereka akan berangkat eksposur ke Sadeng Gunungkidul. Mereka adalah Yohana
Kahi Leba, Dhany AA Umbu Tunggu, Abisag Ndapatara dan Fransisca Evawati,
didampingi oleh Trustha Rembaka dan Stenly R. Bontinge.
Perjalanan
menuju Sadeng ditempuh sekitar dua jam dari Yogyakarta ke arah tenggara
membelah bumi Gunungkidul. Jalan yang berkelok mengikuti kontur geografis Gunungkidul
yang berbukit-bukit menjadi daya tarik eksotisme daerah ini. Bulan Agustus ini alam
Gunungkidul didominasi warna coklat karena tanah yang mengering dan tanaman yang
meranggas. Di beberapa tempat bisa ditemukan bukit-bukit kapur yang tergali,
terpotong, terbelah, dan membekas menjadi bopeng wajah bumi Gunungkidul. Perjalanan
berakhir setelah memasuki turunan curam yang ternyata tebing sungai Bengawan
Solo purba. Lambaian daun hijau puluhan pohon kelapa menyambut kedatangan kami
di kawasan pelabuhan Sadeng.
Setibanya
di kantor UPTD pelabuhan Sadeng, kami disambut hangat oleh Pak Soleman dan Pak
Sunardi. Setelah saling berkenalan dan menjelaskan tujuan kegiatan, kami
didampingi oleh Pak Sunardi berjalan berkeliling pelabuhan Sadeng. Beliau menceritakan
bangunan-bangunan yang ada di kawasan pelabuhan, seperti perkantoran, dermaga,
Tempat Pelelangan Ikan (TPI), mess karyawan dan tamu, gudang dan dok bengkel
kapal serta menunjukkan aktivitas yang terjadi di pelabuhan, antara lain proses
bongkar muat ikan, lelang ikan, jual
beli ikan, menyiapkan kapal melaut dan rekreasi. Beliau juga menceritakan siapa
saja yang tinggal di pelabuhan Sadeng.
Peserta
eksposur beraktivitas sesuai minat masing-masing untuk mengenal dan mendalami
‘kehidupan’ pelabuhan Sadeng. Aktivitas pelabuhan dimulai sejak pagi,
mempersiapkan logistik kapal untuk melaut, membersihkan lantai tempat
pelelangan ikan, dan anak buah kapal yang bertugas menyiapkan jaring dan
berbagai tali-temali. Di kawasan yang berbeda, para pedagang menyiapkan
lapak-lapak ikan untuk jualan sementara pedagang yang lain bersiap dengan kios
nasi rames mereka. Puluhan kapal berbagai ukuran tertambat di kolam pelabuhan.
Beberapa diantaranya adalah kapal patroli milik Polairud, TNI AL dan kapal nelayan. Tak ketinggalan ada pemandangan bangkai kapal yang terendam di salah
satu sudut kolam pelabuhan.
Kehidupan
nelayan merupakan kombinasi kehidupan yang keras penuh resiko dan kebersamaan.
Mereka harus menembus ganasnya gulungan ombak dan meniti tepian karang tajam beberapa
hari di tengah laut, di bawah terik sinar matahari dan berselimut dingin udara
laut. Namun di balik itu, kehidupan nelayan menggambarkan kekuatan kebersamaan
sesama nelayan dan pekerja pelabuhan. Menyiapkan jaring, menggulung tali dan menyiapkan
logistik untuk melaut dikerjakan bersama-sama. Saat berlabuh, membongkar muatan
ikan dan memperbaiki kapal pun tak bisa lepas dari kerjasama antar mereka.
Sabtu
siang peserta eksposur meninggalkan Sadeng menuju Joglo Karangjati dengan kumpulan rasa penasaran yang belum terjawab. Joglo Karangjati menjadi ‘home-base’ untuk beristirahat dan menyusun catatan kegiatan.
Eksposur
dilanjutkan Minggu pagi dengan susur pantai dan tebing dari pantai Trenggole –
Watulawang – Pok Tunggal yang menjadi primadona wisata pantai Gunung Kidul. Ketiga
pantai ini dulunya saling terpisah, namun kini bisa ditempuh dengan jalan kaki
menyusuri pantai dan tebing karang.
Sayangnya, beberapa bagian tebing karang
dipotong dan tanaman pandan laut ditebang demi pembuatan jalan setapak dan
pengembangan wisata. Di beberapa bagian tebing pun bisa ditemukan jejak
corat-coret vandalisme pengunjung. Sebuah ironi saat menikmati keindahan alam
dan merusak alam.
Pantai
Sundak, Ngandong dan Sadranan menjadi bidikan kami selanjutnya. Snorkling
menjadi primadona di Sadranan. Belasan lapak menyediakan kacamata selam yang
bisa disewa oleh pengunjung menjadi pemasukan tambahan bagi penduduk setempat. Namun
di sisi lain, tingginya aktivitas para penikmat snorkling bisa mempengaruhi
kelestarian alam bawah laut di pantai Sadranan.
Perjalanan
kembali ke Yogyakarta melewati Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS), yang di
beberapa bagian sedang dibangunan. JJLS
ini diharapkan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat di kawasan selatan Daerah
Istimewa Yogyakarta. (TRU).
Komentar
Posting Komentar