Potensi Indonesia Sebagai
Poros Maritim Dunia
Ruang Driyarkara, Universitas Sanata Dharma,
28 September 2015
Indonesia
menjadi poros maritim dunia? Mengapa tidak? Kita punya potensi ke sana. Berikut
potensinya jelas Endang Susilowati, seorang pengajar pada Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, memaparkan argumentasinya
berdasarkan penelitian yang selama ini ditekuni. Setidaknya ada enam potensi
yang kita miliki: posisi geografis yang menguntungkan, kondisi wilayah dan
hasil alam melimpah, luas wilayah teritorial dan panjangnya garis pantai,
jumlah penduduk yang tidak asing dengan laut, karakter peraturan perundangan
yang mendukung bahari, dan kebijakan pemerintah beraspek maritim.
Ruang
Seminar Driyarkara, Gedung Pusat Universitas Sanata Dharma, hiruk-pikuk dipenuhi
oleh puluhan mahasiswa yang siap mendengar dan berdiskusi pada acara kuliah
umum tersebut. Dengan bersemangat dan penuh keyakinan, Endang menyampaikan materinya
sehingga mahasiswa antusias memperhatikan. Dua tim Stube-HEMAT Yogyakarta,
Stenly Recky Bontinge dan Yohanes Dian Alpasa diutus untuk menghadiri kuliah
umum ini.
Di
awal paparannya Endang menyitir syair Bung Karno,”...usahakanlah agar kita menjadi
bangsa pelaut kembali.” Ide-ide untuk membangkitkan romantisme kemaritiman
sesungguhnya sudah ada dalam benak pendiri bangsa ini. Mereka yakin bahwa bangsa
yang besar adalah bangsa yang menguasai laut, bangsa yang aktifitasnya di laut akan
lebih sibuk daripada irama gelombang itu sendiri. Era 1950-an, wilayah
teritorial RI hanya 3 mil laut. Artinya, laut di luar batas itu bukanlah
kekuasaan RI dengan konsekuensi kapal-kapal besar bebas hilir mudik dekat
teritorial Indonesia dan itu akan berdampak pada kehidupan ekonomi, sementara kapal-kapal
militer asing akan mempengaruhi stabilitas keamanan. Karena dampak yang dihasilkan
tidak selalu positif, maka pemerintahan di era Bung Karno, melalui deklarasi
Juanda 13 Desember 1957 menyatakan bahwa NKRI adalah Negara kesatuan yang juga
menguasai laut di antara pulau-pulaunya. Tanah, air, dan udara adalah wilayah
kesatuan kekuasaan RI.
Pembicaraan
tentang laut kemudian menghasilkan UNCLOS pada 10 Desember 1982 yang kemudian
diratifikasi RI pada 1985 yang dituangkan dalam UU No.17 tahun 1985. Istilah archipelago
yang diterjemahkan sebagai negara kepulauan sebenarnya kurang tepat karena Archipelago
berasal dari kata arch (besar, utama) dan pelagos (laut), sehingga sejarawan A.
B. Lapian menerjemahkan Archipelago State sebagai Negara Laut Besar yang
ditaburi oleh pulau-pulau. Wilayah RI yang terdiri dari pulau-pulau memberi
kekayaan potensi yang berlimpah; potensi geografis, potensi sejarah dan budaya
Maritim, potensi kelautan (cadangan migas, tambang, dan pangan), potensi
pariwisata, potensi industri, dan potensi jasa maritim.
Waktu
menunjukkan pukul 12.00 WIB, semangat peserta kuliah umum masih belum kendur. Pada
sesi pertanyaan, Yohanes menanyakan keberadaan relief kapal layar pada candi
Borobudur, Visi Maritim presiden Joko Widodo, dan keuntungan perkembangan Maritim
bagi mahasiswa dan masyarakat pegunungan lainnya. Endang menanggapi, “Layar dan
kapal memang ada dalam relief candi Borobudur. Silahkan nanti dicek dan
dipahami. Itulah gambaran sejarah kejayaan laut dari nenek moyang Indonesia. Visi
Indonesia menjadi poros Maritim memang didengungkan oleh presiden Jokowi. Kalau
sekarang terjadi perubahan nama misalnya dari Jalur Ekspedisi Gadjah Mada
kepada Jalur Laksamana Cheng-Ho maka itu tidak perlu menjadi persoalan. Konsep
kelautan memang belum menemukan bentuk yang definitif maka perkembangan konsep
di sana-sini masih dapat dikreasikan.
Siapapun
kita harus bergerak dari tradisi sendiri. Orang-orang yang ada di gunung maupun
pesisir yang tidak berlatar kehidupan bahari, tidak perlu memaksakan diri untuk
hanyut dalam pembicaraan tentang laut. Yang bertani silahkan bertani,
maksimalkan potensi darat, teruslah berkarya dan jadilah produktif. Maka
kejayaan RI akan siap dipandang dan disambut dengan girang. (YDA).
Komentar
Posting Komentar