Gender: Teori Dan Praktik
Di Kampung Halaman
Diskusi Mahasiswa tentang Gender
Stube-HEMAT
Yogyakarta menyelenggarakan pelatihan
maskulinitas dan feminitas pada 27-29 November 2015. Diskusi kecil sebagai
tambahan agar lebih banyak lagi mahasiswa yang berbicara mengenai gender serta
sharing permasalahannya dilakukan pada tanggal 9 Desember 2015 di Sawah Resto.
Acara ini memunculkan cakrawala manfaat baru. Selain mengenal Stube-HEMAT secara lebih dekat, mereka mengasah kembali pengetahuan feminis yang dimiliki, serta mendapatkan teman baru antar kampus (UKDW, STIKES Bethesda, dan STAK Marturia). Sekalipun mayoritas teman-teman mahasiswa yang hadir berlatar prodi teologi, mereka merasakan bahwa isu gender tidak lekang oleh waktu – selalu baru bila dibicarakan dan digumuli. Mereka tidak saja memapar teori yang didapat tetapi juga pengalaman di kampung halaman.
Acara ini memunculkan cakrawala manfaat baru. Selain mengenal Stube-HEMAT secara lebih dekat, mereka mengasah kembali pengetahuan feminis yang dimiliki, serta mendapatkan teman baru antar kampus (UKDW, STIKES Bethesda, dan STAK Marturia). Sekalipun mayoritas teman-teman mahasiswa yang hadir berlatar prodi teologi, mereka merasakan bahwa isu gender tidak lekang oleh waktu – selalu baru bila dibicarakan dan digumuli. Mereka tidak saja memapar teori yang didapat tetapi juga pengalaman di kampung halaman.
Sementara
Bagus, seorang mahasiswa dari Jember, Jawa Timur berpendapat, “Pembedaan laki-laki dan perempuan itu dimulai dari lingkungan.
Lingkungan itu konstruksi, seperti nasihat orang tua pada umumnya kepada anak
gadisnya bahwa kalau nanti tidak bisa
masak, bagaimana mau jadi istri yang baik”. Sebelum masuk jurusan teologi, Bagus pernah
tinggal bersama mentor di Surabaya. Dia melihat pembagian tugas dalam keluarga
yang sehat seperti tugas cuci baju adalah suami dan masak adalah tugas istri.
Reza, yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, menambahkan bahwa fenomena yang saat ini terjadi adalah cowok pinter masak dan
cewek bisa membereskan kerusakan genteng. Dulu memang cewek dan cowok punya
tugas sendiri tapi sekarang standarnya cair.
Anggi, berasal dari daerah yang sama dengan Reza, yaitu Kediri, mengakui tidak begitu mendalami ilmu feminis. Namun, ia sepakat pada
kesetaraan. Secara teologis dua insan diciptakan oleh Allah. Laki-laki dibentuk
oleh Allah. Wanita diciptakan dari tulang rusuk bagian atas. Sekalipun
prosesnya berbeda, hak dan kewenangannya tetap dijamin oleh semesta.
Eko, menunjukkan bahwa masyarakat sudah melakukan kesetaraan. Mereka saling membantu
dan bergotong royong. Di kampungnya, Tanjung Bintang, Tanjung Karang, Lampung, beberapa gadis yang sudah menginjak
dewasa, biasanya jadi TKI di luar negeri. Saat pulang kampung mereka punya uang
dan menganggap seolah-olah laki-laki tak punya kuasa. Dalam hal ini, kesetaraan
disepakati oleh Eko tetapi dia tidak sepakat apabila kemudian uang yang mendominasi.
Pembagian kerja harus menjadi kesepakatan bersama dan sepakat jangan sampai kesetaraan
gender ini menyimpang.
Weweh, nama akrab dari Alva Kurniawan yang berasal dari Pugung Raharjo, Lampung. Penghargaan hak dan kewajiban
antara laki-laki dan perempuan sudah dimulai ketika ada kegiatan sosial bersama,
seperti hajatan. Laki-laki dan perempuan seolah-olah sudah tahu apa yang harus
dilakukannya. Pada umumnya, laki-laki mengambil pekerjaan yang memerlukan
tenaga besar, sementara perempuan selalu mengambil bagian di dapur.
Pinto, yang berasal dari Tegal, Jawa Tengah, menggambarkan rutinitas dan kehidupan sebagian besar perempuan dan ibu-ibu
bekerja. Ada ruang-ruang yang dibatasi sehingga sekalipun mereka bekerja mereka
tetap mengurus rumah juga.
Kesetaraan
hadir dengan berbagai ragam bentuk dan pengertian. Kesetaraan bukan bentuk baku
yang tidak bisa berubah karena sewaktu-waktu bisa luntur dan berubah. Untuk
menjaga agar kesetaraan tetap terpelihara maka diskusi, kerja bersama, dan refleksi
harus senantiasa dilakukan. Kiranya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
tetap hadir dan kita perjuangkan dalam kehidupan. (YDA)
Komentar
Posting Komentar