Refleksi Kemajemukan
dan Intoleransi di DIY
11 Januari 2016 di Aula Kementerian Agama DIY
Wahid
Institut mencatat DIY sebagai daerah peringkat kedua intoleransi sepanjang
tahun 2014 – 2015. Kekerasan yang mengatasnamakan agama terjadi di beberapa
tempat. Tentu saja kejadian kekerasan ini kemudian dikait-kaitkan dengan nama
yang disandang DIY sebagai ‘City Of Tolerance’. Namun, pemerhati kerukunan
tidak tinggal diam. Mereka merespon dan melakukan beberapa hal untuk
mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dan keharmonisan di Yogyakarta.
Senin,
11 Januari 2016 Lembaga Dian Interfidei menyelenggarakan refleksi bersama Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), dan Kementrian Agama DIY. Refleksi diselenggarakan
di Aula lantai 3 Gedung Kementerian Agama DIY.
Stube-HEMAT
Yogyakarta bersama dengan kelompok pemuda mahasiswa, kelompok masyarakat, dan
organisasi lain di lingkungan DIY berkumpul dan mendengarkan ceramah yang
disajikan oleh tiga narasumber. Narasumber pertama adalah Tommy Apriando
(Koordinator Divisi Advokasi AJI Yogyakarta). Narasumber kedua adalah Prof.
Noorhaidi Hasan, Ph.D (Pakar Hukum Islam dan Terorisme). Narasumber ketiga
adalah Agung Supriyono, SH. Kepala Kesbangpol DIY.
Tommy
Apriando mengungkapkan media menaruh perhatian besar pada kehidupan dan
keharmonisan masyarakat. Setiap gangguan dan kekerasan menjadi bahan liputan
utama. Tommy mengakui bahwa redaktur suatu media selalu berhati-hati dalam pemberitaan.
Informasi yang disampaikan tidak boleh menimbulkan kebencian atau persepsi
keliru dalam masyarakat. Karena kehati-hatian inilah sering hasil liputan
lapangan tidak selalu ditayangkan. Tentu saja karena pertimbangan tertentu.
Penjelasan tersebut diungkapkan untuk menanggapi pertanyaan peserta tentang
upaya media memberitakan kekerasan agama.
Prof.
Noorhaidi Hasan mengungkapkan pengalamannya sewaktu menempuh studi di Belanda. Di
sana tidak ada pembedaan agama. Justru setelah masuk Indonesia anaknya sudah
bisa mengidentifikasi tetangga berdasarkan agama. Prof. Noorhaidi mengapresiasi
rencana penghapusan kolom agama dalam berbagai blangko administrasi birokrasi. Yang
menarik di sini adalah harapan Prof. Noorhaidi terhadap aparat penegak hukum. Menurutnya,
kekerasan tidak boleh terjadi di ranah privat. Kekerasan bila diperlukan hanya
boleh dilakukan oleh Aparat Negara (polisi) untuk kepentingan ketertiban umum.
Tugas polisi adalah menegakkan hukum. Kebebasan beragama sudah dijamin
Undang-Undang maka polisi berhak melakukan penindakan (Law Inforcement) untuk
mengamankan situasi. Bila ada kekerasan maka polisi berhak bertindak.
Badan
KESBANGPOL DIY memetakan bahwa 3,7 juta penduduk DIY beraktifitas dalam
berbagai bidang. DIY mempunyai magnet tersendiri untuk menarik orang tinggal. Seiring
pertambahan penduduk, resiko kriminalitas tentu akan meningkat bila tidak
diantisipasi. Dalam aktifitasnya, KESBANGPOL telah melakukan advokasi dan
mediasi dalam kehidupan beragama di DIY.
Pada
akhir sesi, petugas polisi yang hadir memberikan tanggapan dan mengakui ketegasannya
perlu ditingkatkan lagi. Kasus yang harus ditangani polisi banyak sekali
mencakup semua lini hidup masyarakat.
Demikian
kehidupan kemajemukan kita. Kiranya dapat terpelihara dan menjadi dasar
keharmonisan di DIY dan Indonesia pada umumnya. Bagaimanapun juga, silaturahmi
dan tegur sapa antar kelompok adalah cara efektif untuk meredam ketegangan dan radikalisme
dalam tubuh agama. (YDA)
Komentar
Posting Komentar