Mati Baik-Baik Kawan
Sebuah Diskusi
Buku di Togamas
Mati baik-baik kawan
adalah tema besar yang diusung oleh Social Movement Institute (SMI), Stube-HEMAT
Yogyakarta, Tribun Jogja dan Togamas dalam diskusi rutin bulanan pada 6
Februari 2016 lalu di toko buku Togamas, Yogyakarta. Diskusi ini menghadirkan narasumber
Martin Aleida, Katrin Bandel dan Romo Baskara T. Wardaya, SJ dan Vicky Tri
Samekto sebagai moderator untuk mengkaji kumpulan cerpen: Mati Baik- Baik
Kawan, karya Martin Aleida.
Sebagai penulis, Martin
Aleida menuturkan bahwa kumpulan cerpen tersebut merupakan potret pengalaman dari
sudut pandang sebagai saksi dan korban politik tragedi 1965. Berangkat dari
judulnya, Katrin Bandel sebagai kritikus sastra memberikan tanggapan bahwa menurutnya
mati baik-baik itu adalah keadaan manusia yang sudah benar benar siap dalam menghadapi
kematiannya. Pasca tragedi 1965 banyak orang mati dalam kondisi yang
mengenaskan, tanpa ada pangruktilaya
(mengurus jenazah), pemakaman yang jelas, lantunan doa, pelayat maupun karangan
bunga. Hal tersebut dinamakan sebagai kematian sosial pada zaman itu, oleh
karena banyak kematian yang didasari motif dendam pribadi yang tidak
terselesaikan. Situasi inilah yang ditangkap dan disajikan oleh Martin Aleida
dalam kumpulan cerpennya tersebut.
Karya ini adalah kumpulan
kisah yang sangat jujur dan menggugah empati kemanusiaan. Namun anehnya setelah
masa Orba berakir justru tema besar seperti seksualitas dan masyarakat urban yang menjadi trend, dan karya seperti Martin Aleida
justru jauh dari sorotan. Katrin Bandel menuturkan bahwa ini merupakan kondisi
yang memprihatinkan, sehingga penting bagi kita saat ini untuk terus mendorong
dan mengapresiasi karya seperti ini.
Romo Baskara, SJ, menanggapi
bahwa kisah yang disajikan dalam buku ini diangkat dari kisah nyata, dari
mereka yang mengalami dan menjadi korban
politik tragedi 1965. Buku ini tidak hanya sastrawi melainkan juga sangat
manusiawi, menyentuh, menggugah dan mempertanyakan eksistensi manusia. Romo
Baskara juga menjelaskan konteks sejarah yang menjadi sudut pandang karya Martin
Aleida, bahwa periode tahun 1950an merupakan tonggak yang sangat mempengaruhi
situasi politik Indonesia. Namun periode tahun ini jarang mendapat sorotan
sejarah meskipun tahun 1950 adalah sejarah Indonesia menjadi NKRI dari negara
federal, tahun dimana pertama kali Indonesia mengadakan pemilihan umum secara
demokratis, Indonesia menjadi penyelenggara Konferensi Asia-Afrika dan
melahirkan UUPA (Undang Undang Pokok Agraria) di akhir tahun 1950an. Namun dalam
priode kepemimpinan Presiden Soekarno yang kerakyatan dan anti modal asing ini,
ada usaha politik lain untuk mengganjalnya. Perang dingin antara Barat dan
Timur sedang bergolak. Blok Timur diprakarsai Soviet memakai seni sebagai alat
propaganda untuk mensosialisakikan gagasan pemerintah kepada rakyat untuk
berpartisipasi.
Metode propaganda seni
tersebut terbukti sangat berhasil di Eropa Timur, Afrika dan beberapa negara
Asia. Kemudian blok Barat yang diprakarsai oleh USA juga mensosialisasikan
gerakan seni berhaluan abstrak untuk mengimbangi gerakan seni Soviet dan
membuat rakyat berpikir elitis, kapitalistis, anti sosialis dan terlepas dari
realitas sosial yang terjadi. Seni harus berbicara tentang seni dan harus
terlepas dari masalah sosial maupun politik, apalagi untuk mendukung gerakan
politik. Cara tersebut bukan hanya sebuah upaya bagaimana cara untuk
menyingkirkan orang, tetapi juga cara menyingkirkan pemikiran kritis.
Pertentangan dua kutub seni tersebut juga mempengaruhi perkembangan seni dan
sastra di Indonesia, antara LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan MANIKEBU (Manifestasi
Kebudayaan).
Sebuah perenungan bersama
bagi kita untuk mempertanyakan manfaat sebuah karya dalam konteks kemanusiaan.
Semuanya terserah anda. (PIAF).
Komentar
Posting Komentar