Petani, Budaya dan Tuak
Menyambut RUU Larangan Minuman
Beralkohol
Diskusi Publik Minuman Alkohol dari Hulu
ke Hilir
Awal Februari ini Yogyakarta
digemparkan dengan banyaknya berita kematian yang disebabkan oleh minuman
beralkohol yang dioplos dengan berbagai larutan. Informasi terakhir terdapat 26
orang meninggal dunia, dua diantaranya mahasiswi asal Ternate yang meninggal di
kamar kostnya karena minum oplosan ini. Hal ini menggugah teman-teman Freedom
Society untuk dapat mengambil bagian melakukan kegiatan Diskusi Publik
Minuman Alkohol dari Hulu ke Hilir dengan judul “Mengkaji Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Beralkohol dari
Perspektif Sosial, Ekonomi dan Budaya”, yang diselenggarakan pada Kamis, 11
Februari 2016 bertempat di auditorium Fakultas Filsafat, UGM.
Mengacu dari banyaknya
masalah yang ditimbulkan dari bahaya miras ini DPR RI telah membuat Rancangan
Undang-undang (RUU) yang bersisi Larangan Minuman Beralkohol. Sayangnya draft
RUU tidak bisa dibahas dalam diskusi ini karena memang para fasilitator yang diundang
bukan dari DPR RI. Peserta yang hadir cukup banyak berkisar 120 orang dari berbagai kampus. Beberapa narasumber yang
hadir, baik dari kalangan akademisi maupun aktivis adalah:
- Reymond Michael M, Peneliti Antropologi Universitas Indonesia
- Adi Christianto, Forum Petani dan Produsen minuman berfermentasi
- Agus Wahyudi, Institute Keadilan
- Priyambodo, UPKM / CD Bethesda
Masing-masing narasumber
memaparkan materi yang beraneka ragam. Salah satunya Reymond Michel M, membuka
diskusi dengan tiga pertanyaan: Siapa? Minum apa? Dimana? Dari tiga pertanyaan
ini dapat dilihat bahwa minum “Cap Tikus” di daerah Indonesia bagian timur
merupakan budaya yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Di Manado
para produsen minuman tradisional beralkohol “Cap Tikus” ini menjual produknya bukan
hanya untuk diminum, tetapi mereka menjual ke pabrik pembuatan obat-obatan,
rumah sakit bahkan ke luar negeri. Sebagian masyarakat di Manado dan Tuban dampingannya
“Cap Tikus”, tuak atau arak merupakan minuman penambah tenaga dan pelepas lelah
yang diminum sebelum berangkat kerja atau ke ladang dan pada malam hari sebelum
istirahat agar ketika bangun badan terasa segar esok harinya. Dari sini lahir
semboyan satu sloki tambah darah, dua sloki naik darah dan tiga sloki tumpah
darah.
Agus Wahyudi menyampaikan
bahwa jika peredaran minuman ini dilarang maka disinyalir akan banyak
bermunculan pasar gelap di Indonesia dan ini akan jauh lebih berbahaya sebab
bahan yang digunakan pasti tidak jelas dan menambah resiko bagi konsumen. Sementara
Priyambodo menambahkan bahwa bahan yang digunakan dalam pembuatan minuman
beralkohol tradisional rata-rata adalah bahan-bahan dari alam, seperti
mengkudu, pohon enau dan pohon aren. Produsen sama sekali tidak menggunakan
bahan-bahan yang berbahaya. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengatakan
bahwa minum arak atau tuak menyebabkan kematian karena yang meninggal selalu
yang minum oplosan. Sangat disayangkan bahwa dampak dari kejadian ini, petani-petani
minuman tradisional terkena imbasnya, padahal ini merupakan mata pencaharian
mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Semua narasumber mengusai
materinya, tetapi sangat disayangkan tidak ada narasumber yang berkompeten membahas
RUU larangan minuman alkohol, sehingga keresahan masyarakat yang dirugikan
karena masalah ini dapat tersampaikan. Sebagai kesimpulan dari diskusi ini adalah
pemerintah harus benar-benar mengkaji dampak panjang yang akan ditimbulkan dari
RUU ini dan bagaimana solusi yang diberikan untuk jutaan masyarakat yang berpenghasilan
dari minuman beralkohol tradisional. Semoga menambah khasanah pengetahuan kita
semua. (SAP)
Komentar
Posting Komentar