Stube-HEMAT
Yogyakarta
Kunjungi
Pesantren Mlangi
Pesantren dipandang sebagai sarana pendidikan iman dan agama Islam.
Memang demikianlah adanya. Pesantren menjadi wadah bimbingan iman, karakter,
dan pekerti bagi setiap anak bangsa yang beragama Islam. Namun, sejarah menyatakan
pesantren tidak melulu mengajar soal agama. Pesantren juga mengajar soal
kebangsaan. Kenyataan itu dibuktikan dengan perjuangan warga pesantren dalam
mengusir penjajah Belanda yang telah merendahkan martabat bangsa Indonesia
sebagai manusia.
Sabtu, 16 April 2016, Stube-HEMAT Yogyakarta mengunjungi Pesantren
As-Sallafiyyah, Mlangi, Sleman, DIY. Rombongan Stube-HEMAT Yogyakarta sejumlah
31 orang berdialog dengan Gus
Irwan Masduki pengasuh Ponpes. Beliau selesai menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Kairo,
Mesir, dan kemudian pulang menyelenggarakan pendidikan di negerinya, Indonesia.
Perkunjungan Stube-HEMAT Yogyakarta telah menjadi agenda program
Multikultur dan Dialog Antar agama. Peserta program diharapkan mampu untuk
menunjukkan identitasnya di tengah keberagaman sekaligus tidak kaku dalam
berinteraksi dengan komunitas lain. Bagaimanapun juga, interaksi dan dialog
adalah suatu kenyataan yang tidak bias dipungkiri di negeri ini. Untuk
mengembangkan kesatuan dalam keberagaman, kita perlu berinteraksi dan
berdialog. Maka, Stube-HEMAT Yogyakarta mengunjungi komunitas keagamaan dan
komunitas budaya di lingkungan DIY.
“Di sini pesantren sekaligus sekolahan,”
ungkap Gus Irwan dalam membuka diskusi. Gus Irwan mengatakan santri di sini
sebagian adalah mahasiswa di kampus
terdekat seperti UTY, UIN,
Gadjah Mada, dan UII. Santri dengan mahasiswa non-pesantren tidak jauh berbeda.
Mahasiswa non-pesantren dapat berdoa di rumah indekosnya, sementara santri memiliki waktu
berdoa yang secara disiplin dilakukan setiap hari.
Kegiatan bersama mahasiswa lain kampus juga diselenggarakan tetapi
tidak rutin karena padatnya jadwal pesantren, seperti berdiskusi dengan Orang Muda
Katolik ataupun dengan komunitas lain.
Sekalipun jadwal padat, santri tetap melakukan
kegiatan ini dengan mengirim wakilnya untuk berdiskusi.
Gus Irwan mengungkapkan pendapatnya tentang perbedaan perspektif
menafsir suatu teks. Setiap penafsiran dipengaruhi oleh perspektif, maka untuk menafsir satu ayat dalam
kitab suci, orang-orang tidak selalu sama dalam menyajikan hasil penafsiran. Setiap penafsiran dipengaruhi
oleh budaya yang membentuk perspektif setiap orang. Gus Irwan sendiri mengakui
bahwa dirinya terbuka pada perbedaan. Agama yang diturunkan dari Tuhan itu
punya sisi kebaikan. “…Tidak ada agama yang turun dari Tuhan yang ajarkan
kekerasan,” ungkap Gus Irwan.
Lalu kenapa masih saja ada kekerasan? Gus Irwan mengakui ada saja
ajaran yang melegalkan kekerasan dengan alasan-alasan
tertentu. “Perang beda agama itu terjadi untuk memperjuangkan kebebasan
beragama bukan
untuk paksa orang masuk agamanya,” tambah Gus Irwan.
Gus Irwan kemudian menceritakan pengalamannya mengunjungi gereja di
Sinai, Mesir. Toleransi sudah ada di sana sejak jaman Nabi. Bahkan ada gereja
yang masih menyimpan surat dari Nabi Besar Muhammad SAW bahwa gereja ini tidak
boleh dihancurkan. Sungguh indah toleransi di jaman itu.
Pertanyaan kemudian muncul. Satu per satu teman-teman Stube saling
memberi pertanyaan dan dijawab oleh Gus Irwan.
Perkunjungan dan perjumpaan dengan Gus Irwan dan santrinya merupakan
pengalaman baru. Sebagian teman-teman Stube mengakui bahwa ini pertama kalinya
mereka mengunjungi pesantren. “…ternyata anak pesantren ramah dan baik,” demikian kata Apong,
mahasiswa peserta Stube yang hadir di hari itu.
Mari terus berjejaring dan bekerjasama dalam perbedaan yang indah. (YDA).
Komentar
Posting Komentar