Membuat Biobriket di Desa Salam
Kuliah Kerja
Nyata (KKN) merupakan kesempatan bagi mahasiswa menerapkan ilmu pengetahuan dan
ketrampilan yang dimiliki di dalam kehidupan sehari-hari dan masyarakat. Salah
satu aktivis Stube HEMAT, Elyzz Takadjanji, mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Sarjana Wiyata, tengah mengikuti program ini dari universitasnya
sejak pertengahan Juli sampai akhir Agustus 2016. Beberapa program yang
dilakukan terinspirasi dari kegiatan
yang pernah diikutinya di Stube HEMAT Yogyakarta berkaitan dengan Energi
Alternatif dan kesehatan.
Berawal dari
pelatihan Energi alternatif (07/2016) yang mengajarkan bagaimana mengolah
sampah menjadi biobriket, Minggu, 30 Juli 2016 kelompok Follow Up Biobriket diundang
untuk membagikan ketrampilan membuat biobriket kepada masyarakat Desa Salam,
Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dua orang mahasiswa Institut Teknologi
Yogyakarta, Tamjos (Fakultas Energi) dan
Alvon (teknik lingkungan) tergerak untuk berangkat dan mengajarkan ketrampilan tersebut
pada masyarakat setempat.
Pukul sembilan
pagi, bertepatan dengan waktu kerja bakti warga, mereka terlihat antusias
mebagikan ilmu membuat biobriket sederhana. Tamjos bertindak sebagai juru
bicara dan Alvon menjadi “juru rangkai” biobriket. Warga terlihat antusias
mengikuti diskusi tersebut, terutama ibu-ibu. Mereka bahkan tak jijik ikut
“mengobok-obok” arang tanpa kaus tangan.
Salah satu
pertanyaan penting dilontarkan Bu Prapti,”Mengapa kita harus repot membuat
biobriket, sementara sudah ada arang kayu?” Dengan bijak Tamjos menjawab, “Benar,
tetapi perlu ibu ketahui bahwa bahan baku arang berasal dari kayu dan itu sungguh
tidak ramah lingkungan. Jika setiap hari kita menebang kayu hanya untuk dijadikan
arang, maka hutan akan gundul. Bahan baku biobriket tidak berasal dari pohon
yang ditebang, kita bisa memanfaatkan daun-daun yang berguguran,
ranting-ranting patah, pelepah pohon keras yang jatuh ke tanah, atau dahan yang
dipangkas. Arang dari bahan-bahan tersebut bisa diambil untuk dijadikan
biobriket”. Tamjos menambahkan pula,”Nah Bapak-Bapak, Ibu-ibu, saat kita sudah terbiasa menggunakan
biobriket, kita tidak perlu khawatir kalau sewaktu-waktu harga gas Elpiji 3 kg,
minyak tanah atau kayu bakar melonjak”.
Menutup
diskusi menarik pagi itu kami disuguhi teh hangat dan gorengan ala kadarnya
sambil diselingi canda tawa ketika seorang Bapak berceloteh, “Mas-mas, mbak-mbak
sering-seringlah main ke sini untuk cuci mata sebab di sini banyak pemandangan
alam dan kesenian daerah yang tidak ada di Jogja”. Kami serentak menjawab, “Nggih
Pak!”
Selamat
kawan-kawan, sudah berhasil menjalin persahabatan dengan warga desa dan
teruslah menularkan semangat energi terbarukan. (SRB).
Komentar
Posting Komentar