REFLEKSI EXPLORING SUMBA
Belajar, Berproses, Berbagi dan
Bahagia di Tanah Marapu
Sejak
melihat dari jendela pesawat hingga menginjakkan kaki pertama kali di Tanah
Marapu, saya langsung merasakan bahwa sejauh mata memandang saya sudah berada
di Sumba. Berbeda jika saya mengunjungi daerah lain, terkadang saya masih suka
menyangkutpautkan atau menyamakan satu daerah dengan daerah lainnya. Namun
pulau Sumba adalah sebuah surga yang berbeda, Sumba memiliki keistimewaan dan
keunikan tersendiri yang mampu membuat saya betah berlama-lama di pulau ini.
Berada
di tanah Sumba selama sebulan mengajarkan banyak pembelajaran dan pengalaman
berharga kepada saya, bahkan pengalaman-pengalaman yang tidak pernah terbayang
sebelumnya. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan dari Stube-HEMAT
Yogyakarta untuk mengunjungi salah satu daerah di Timur dan Selatan Indonesia
ini.
Belum
ada 24 jam saya di Sumba, ada kejadian yang baru pertama kali saya alami, yaitu
digigit seekor anjing di pinggir jalan kota Waingapu. Gigitan itu menimbulkan
luka tapi tidak cukup parah. Dua teman baru di Sumba mengagetkan saya karena
mereka mengatakan bahwa digigit seekor anjing adalah hal biasa di Sumba. Luka
saya cukup dibersihkan dan diberi betadine, padahal yang ada dalam pikiran saya
saat itu adalah kuatir terkena rabies. Namun kekuatiran saya tidak terjadi.
Pengalaman
menarik lainnya adalah perjalanan menuju desa Laimbonga. Selama perjalanan
tidak henti-hentinya dalam hati memanjatkan rasa takjub dan syukur kepada Tuhan
atas ciptaan yang luar biasa atas Sumba. Alam Sumba menyegarkan mata saya
dengan panorama padang rumput savanna yang seolah tidak berujung dan ditemani
oleh kawanan kuda dan sapi yang sedang menikmati sarapan pagi.
Pengalaman
lain yang berkesan adalah ketika di desa Laimbonga dan langsung menuju salah
satu rumah warga yang akan menguburkan mayat dengan adat Marapu. Saat kami
tiba, sudah cukup banyak warga desa yang berkumpul untuk mengikuti upacara
penguburan. Kami diterima oleh kepala desa yang juga ayah dari Rambu Etty dan
pihak keluarga yang sedang berduka. Sirih pinang disajikan sebagai lambang
penerimaan tamu. Salah satu anggota keluarga menjelaskan kepada kami bahwa
jenazah yang akan dikuburkan ketika meninggal usianya sudah lanjut dan telah
disimpan lebih dari setahun, sedangkan jenazah lainnya ketika meninggal usianya
sekitar dua tahun dan telah disimpan kurang dari setahun.
Saat
prosesi, kami tidak ingin melewatkan kesempatan ini dengan mendokumentasikan
prosesi penguburan tersebut. Ada ritual doa untuk mengantar kedua jenazah ke
tempat penguburan yang persis berada di depan rumah dengan diiringi isak tangis
dari beberapa ibu yang masih ada ikatan keluarga. Uniknya, peti kayu jenazah dan sudah direkat erat dengan semen
tersebut dibuka kembali menggunakan linggis untuk mengambil jenazah dari peti
masing-masing dan dimasukkan ke dalam liang kubur, yang sebelumnya sudah
dilapisi dengan beberapa lembar kain Sumba. Beberapa hal mirip dengan cara
penguburan yang dilakukan di daerah saya di Toraja, Sulawesi Selatan,
khhususnya dalam hal menyimpan jenazah dengan waktu yang cukup lama.
Pengalaman
berkesan lainnya adalah saya melihat beberapa rumah penduduk Sumba, yang
mungkin lebih tepat pondok, karena ukuran rumah mereka sama besar dengan kamar
kost saya di Yogyakarta. Saya berpikir dengan rumah sekecil itu, ada berapa
anggota keluarga yang tinggal di dalamnya? Bagaimana mereka leluasa untuk
beraktivitas di dalam rumah? Bagaimana aktivitas MCK-nya?
Saat
itu saya tertegun sejenak, menyadari bahwa masih sangat banyak masyarakat di
negeri ini yang tidak mampu merasakan kesejahteraan dari negaranya sendiri.
Kemudian saya sadar bahwa saya beruntung pernah mendapat pengalaman ini.
Sebagai seorang mahasiswa, sudah menjadi tanggung jawab saya bersama ribuan
mahasiswa lain di negeri ini yang nantinya menyelesaikan perkuliahan dan akan
memulai pengabdian bagi negeri dan membangun kesejahteraan masyarakatnya.
Saya
menyadari bahwa selama di Sumba ada banyak kekurangan dan banyak hal telah
dipelajari. Tidak mudah beradaptasi terhadap Sumba dan sekitarnya dan hal
tersebut baru benar-benar saya rasakan dan sesali sekembalinya ke Yogyakarta.
Namun saya bahagia karena pernah berbagi ilmu dengan penuh keikhlasan kepada
masyarakat dan anak-anak Sumba.
Akhir
kata, belajar, berproses, berefleksi, bekerja, sharing dan traveling itu
menyenangkan selama kita bahagia dengan kesederhanaan yang ditawarkan. (Resky).
Komentar
Posting Komentar