Ada rasa penasaran ketika
sebuah diskusi tentang hak-hak anak sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)
disampaikan dengan metode bermain peran atau dramatisasi. Mengapa dilakukan
dengan metode seperti itu, bagaimana cara dialognya, apa saja yang dilakukan
dan berbagai pertanyaan lainnya.
Sesuatu hal yang berbeda
tentu akan menjadi daya tarik suatu kegiatan. Ini yang mendorong belasan
mahasiswa mengikuti diskusi yang diadakan di sekretariat Stube-HEMAT Yogyakarta
pada hari Sabtu, 19 November 2016. Kegiatan diskusi ini merupakan bagian
pertama dari rangkaian kegiatan dalam program Hak Asasi Manusia.
Ariani Narwastujati,
S.Pd., S.S. M.Pd, Direktur Eksekutif Stube-HEMAT menyampaikan materi tentang Hak
Asasi Manusia, khususnya hak-hak anak. Ia cukup akrab dengan topik ini karena
pernah mengikuti diskusi serupa di Stube Nord, Jerman. Selain itu, ia juga
menjadi Sekretaris Kampung Ramah Anak di Nyutran, Yogyakarta.
Di awal diskusi Ariani
mengajak peserta untuk berlatih olah nafas dan ekspresi. Dua hal ini merupakan
unsur penting dikuasai oleh seseorang untuk bermain peran. Kemampuan olah
pernafasan yang baik akan sangat membantu dalam bermain peran, karena seni
peran membutuhkan energi untuk bersuara dan bergerak. Kemampuan ekspresi pun
tak kalah penting karena ekspresi yang tepat akan memperkuat pesan yang
disampaikan.
Masing-masing peserta
memilih hak yang akan mereka perjuangkan dan kemudian berlatih menyuarakan
hak-hak yang diperjuangkan disertai ekspresi. Ternyata, tidak semua peserta
bisa berekspresi dengan bebas, sebagian lain masih canggung dan perlu belajar
lagi mengasah kemampuan ekspresinya.
Selanjutnya di dalam
kelompok, peserta mempersiapkan drama singkat menyuarakan hak-hak anak. Grup
pertama mencipta lagu pendek yang berisi ajakan untuk menghargai hak-hak orang
lain. Grup berikutnya mengkreasi ulang lagu yang berisi pesan memenuhi hak-hak
anak. Grup ketiga dengan drama menampilkan potret keluarga kecil di pedalaman
Kalimantan Barat yang mengalami keterbatasan fasilitas pendidikan dan
kesehatan.
Dalam paparannya Ariani
mengungkap bahwa hak-hak anak sebenarnya telah ada sejak anak dalam kandungan,
sejak terjadi konsepsi. Hak-hak anak ini dirangkum dalam beberapa kelompok, di
antaranya: hak sipil dan kebebasan, lingkungan dan pengasuhan, kesehatan dan
kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang dan perlindungan khusus. Salah astu
contoh pemenuhan hak anak adalah seorang anak memiliki akta kelahiran.
Mengenai HAM di Indonesia
sendiri, meskipun hak asasi manusia sudah dideklarasikan sejak tahun 1948,
pemerintah Indonesia baru mewujudkan dalam sebuah Undang-undang pada tahun
1999. Dalam deklarasi HAM memuat 30 pasal yang menjamin hak bagi setiap
manusia.
Di akhir acara beberapa
peserta mengungkapkan sesuatu yang mereka dapatkan, seperti “Melalui diskusi
ini, terjawab semua pertanyaan saya karena saya bercita-cita menjadi seorang
pembela atas hak anak dan perempuan”, ungkap Angelicha. Hal senada diungkapkan
Marno Lejap, seorang mahasiswa dari Lembata, “Setelah mengetahui bahwa
Indonesia sangat tertinggal dari dunia internasional tentang hak anak, maka
inspirasi saya adalah bahwa kampung ramah anak memang perlu diterapkan di
daerah saya (di Lembata, NTT).”
Kegiatan lanjutan dari
program Hak Asasi Manusia adalah diskusi mendengar pengalaman seorang yang
bertugas di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu, Nusakambangan dan pelatihan serta
kunjungan belajar bersama masyarakat Sedulur Sikep di Pati, Jawa Tengah.
Selamat berproses
mengenali diri, sesama dan hak asasi manusia, teman-teman muda. (TRU)
Komentar
Posting Komentar