Lembaga Pemasyarakatan, Antara Harapan dan Kenyataan Minggu, 27 November 2016 di Sekretariat Stube-HEMAT Yogyakarta
Diskusi
lanjutan pada hari Minggu 27 November 2016 di sekretariat Stube-HEMAT
Yogyakarta, masih mengangkat topik Hak Asasi Manusia yang selalu menjadi
diskusi menarik karena berkaitan dengan banyak hal, berbagai perspektif dan
pemahaman, terlebih topik ini bersangkut paut dengan manusia dan kemanusiaan.
Dua
fasilitator berpengalaman di bidangnya diundang untuk berbagi cerita dan
pengalaman. Pertama adalah Eko Prasetyo, SH, aktivis Social Movement Institute
(SMI), pegiat Hak Asasi Manusia dan penulis buku. Berikutnya, Edy Warsono, SH,
yang bertugas di bidang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Batu, Nusakambangan. Enam belas mahasiswa dari berbagai
kampus ikut ambil bagian dalam diskusi ini. Mereka ingin tahu lebih dalam
tentang dinamika pelaksanaan HAM saat ini, bagaimana kehidupan di dalam lembaga
pemasyarakatan dan apa saja yang dialami oleh para penjaga penjara.
Eko
Prasetyo, SH, menjadi fasilitator pertama dalam diskusi ini. Ia mengungkapkan ciri khusus HAM, seperti 1)
Hakiki, bahwa hak asasi manusia adalah hak asasi semua umat manusia yang ada pada mereka sejak lahir, 2)
Universal, bahwa hak asasi manusia
berlaku untuk semua orang tanpa memandang status, suku bangsa, gender atau
perbedaan lainnya. Memang, persamaan adalah salah satu dari ide-ide hak asasi
manusia yang mendasar, 3) Tak dapat
dicabut, artinya hak asasi manusia tidak dapat dicabut atau diserahkan,
dan 4) Tak dapat dibagi, bahwa semua
orang berhak mendapatkan semua hak, apakah hak sipil dan politik, atau hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya.
Kehadiran
Edy Warsono, SH dari LP Batu Nusakambangan memancing rasa ingin tahu peserta
yang sebagian besar mahasiswa. Ketika mendengar istilah ‘Nusakambangan’
imaginasi peserta langsung mengarah pada penjara, narapidana, pulau misterius
dan menakutkan. Ini tidak salah karena sejak 1908 Belanda menetapkan
Nusakambangan sebagai ‘poelaoe boei’ (pulau bui). LP Batu sendiri termasuk
lembaga pemasyarakatan tingkat pengamanan tinggi (SMS-Super Maximum Security)
karena di dalamnya berisi narapidana yang mendapat hukuman berat dan beresiko
tinggi seperti subversif, narkoba, teroris, politik dan pembunuhan. Edy Warsono
bertugas sebagai Pembina Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Lapas Kelas I Batu
Nusakambangan dan ini menuntutnya selalu berinteraksi
dengan setiap narapidana yang ada di LP tersebut. Berkaitan pembinaan
narapidana, ia merujuk pada pendapat Dr. Saharjo, tokoh perintis sistem
pemasyarakatan dan menteri Kehakiman Indonesia, ‘Narapidana adalah orang
tersesat, mempunyai waktu untuk bertobat, pertobatan tidak dapat dicapai dengan
penyiksaan, melainkan dengan bimbingan,’ yang disampaikan saat penganugerahan
gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia tahun 1963.
Salah seorang peserta diskusi, Danial H Banju,
mahasiswa APMD bercerita bahwa ia membaca di media massa, narapidana yang telah
bebas terkadang melakukan kejahatan lagi, apakah di LP tidak ada pembinaan? Edy
Warsono menjawab, “Ada pembinaan terhadap WBP dan ini dilakukan demi
peningkatan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri
dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, berperan aktif dalam pembangunan dan hidup secara wajar
sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Namun, masyarakat belum bisa
menerima kembali warga binaan yang telah bebas. Hal ini menyakitkan bagi
mereka. Sehingga pembinaan WBP juga melibatkan masyarakat, seperti acara ini.
Masyarakat perlu tahu apa yang terjadi di dalam LP dan instrospeksi untuk bisa
menerima kembali warga binaan yang telah bebas,” ungkapnya.
Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan
keberadaan Lembaga Pemasyarakatan, karena kenyataannya jumlah narapidana
melebihi kapasitas LP. Jumlah penjaga tidak sebanding dengan jumlah narapidana
sehingga hal ini sebenarnya beresiko tinggi bagi kehidupan penjaga dan pegawai
LP. Namun pada kenyataannya dengan pengetatan belanja negara, operasional LP
juga mengalami pemangkasan. Ia juga mendorong mahasiswa menyadarkan masyarakat
untuk mau menerima kembali warga binaan yang telah bebas, sehingga mereka
memiliki optimisme untuk menjalani kehidupan dengan baik. (TRU).
Komentar
Posting Komentar