Berada
di kampung halaman ketika liburan semester menjadi pilihan sebagian mahasiswa
yang sedang kuliah di Yogyakarta. Stube-HEMAT Yogyakarta dengan program
Eksposur Lokal mendorong mahasiswa merancang suatu kegiatan yang bermanfaat
bagi masyarakat di sekitar ia tinggal. Program ini membantu mahasiswa menumbuhkan
kepeduliannya terhadap daerah asalnya, memetakan potensi daerah dan
hambatannya, membuka jejaring dengan pihak lain dan melakukan orientasi kerja
setelah selesai studi di Yogyakarta. Ada tiga mahasiswa yang menjadi peserta
program ini, siapa saja mereka?
Ia
sering dipanggil Agus, mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Sekolah Tinggi
Pembangunan Masyarakat Desa ‘APMD’ yang
berasal dari Long Alango, Malinau, Kalimantan Utara. Perjalanan ke kampung
halaman ditempuh beberapa hari dan perlu nyali kuat. Betapa tidak, ia berangkat
dari Yogyakarta menuju Tarakan menggunakan pesawat udara, dilanjutkan dari
Tarakan menuju Bahau Hulu menggunakan perahu melawan derasnya arus sungai. Tak hanya
itu, di tengah perjalanan ia dan beberapa penumpang bermalam di tepi sungai dan
berganti perahu yang lebih kecil karena ada batu-batu besar di sepanjang
sungai.
Sesampai di kampung halaman ia melakukan pemetaan potensi desanya. Ia melakukan
pendekatan dengan warga desa, mewawancarai perangkat desa dan kecamatan
setempat, ketua adat, kepala adat, kelompok anak muda, kelompok tari ibu-ibu,
kelompok tari anak dan remaja, kelompok tari orang dewasa, kelompok kerajinan
tangan dan kelompok musik adat. Ia juga mengikuti kerja bakti desa, melatih
seni tari adat bagi anak-anak SD, SMP dan remaja, mengisi tari tunggal dan
mengamati hutan tanah ulen.
Ia
menemukan potensi yang bisa dikembangkan seperti hutan lindung Tanah Ulen,
tari-tarian adat, panorama alam, kuburan batu, kerajinan tangan. Ia juga
merasan bahwa kehadirannya mendapat respon dan sambutan yang baik dari
masyarakat. Mereka berharap agar Agus bisa pulang saat liburan dan membuat
kegiatan bersama masyarakat.
Elisabeth Uru Ndaya
Elis
kuliah di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris. Ia tertarik mendalami tenun karena ia menemukan kenyataan bahwa
sebagian anak muda Sumba Timur menggunakan kain tenun Sumba tetapi tidak
mengetahui motif dan makna pada kain tenun tersebut. Bahkan tidak jarang kain tenun yang dipakai motifnya kurang sesuai dengan acara yang
diikuti. Ini ironis karena kain
tenun merupakan warisan budaya
yang menjadi ciri khas daerah Sumba Timur.
Saat
liburan ia bertekad mendalami tenun tradisional dengan mendatangi desa
(kampung) pembuat tenun, seperti kampung Kalu, kampung Prailiu, kampung
Padadita dan kampung Palindi di kecamatan Kambera, Waingapu. Setelah belajar
beberapa minggu ia menemukan berbagai gambar dan makna, misalnya gambar buaya
lambang kebesaran raja, gambar papanggang
simbol hamba/atta, gambar andung atau tengkorak lambang perang,
gambar ayam simbol ritual kepercayaan marapu,
gambar kuda sebagai hewan dalam masyarakat Sumba dan gambar mamuli simbol mahar perkawinan adat.
Proses
tenun memerlukan alat dan bahan, seperti piapak
(penggulung benang), wanggi pamening
(pemintal), kapala (alat ikat benang
yang siap digambar), tenung (alat
tenun), wurung (merendam pewarna),
lesung (penumbuk akar mengkudu), benang halus (sutra), benang kasar (wol), akar
mengukudu (merah/kombu), daun lira (wora/biru), pohon ijju dan kemiri (kuning)
dan kapur untuk pengawet kain.
Kelestarian
tenun Sumba Timur perlu terus dijaga, tetapi sayangnya hanya sedikit generasi
muda yang mau menekuni keterampilan membuat kain tenun tradisional Sumba Timur.
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi masyarakat Sumba Timur untuk terus menjaga
keberadaan tenun tradisional.
Johain Pekaulang
Seorang fresh
graduate jurusan Hukum Universitas Janabadra Yogyakarta. Ia berasal dari
Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara. Sesuai ilmunya, ia ingin tahu sejauh mana
penerapan hukum adat di Buli
dalam penyelesaian perkara pidana seiring berjalannya waktu dan perkembangan
zaman.
Sekitar tahun 1980 masyarakat
Buli masih lekat dengan adat-istiadat. Jika terjadi
pelanggaran atau kejahatan, dalam bahasa hukum disebut tindak pidana, sering
diselesaikan secara musyawarah atau kekeluargaan yang berakhir damai antara
korban dan pelaku, bisa juga penyelesaian dengan denda adat. Selain itu, ketika
ada pernikahan, musik yang sering dimainkan adalah lalayon dan diiringi tari
lalayon dan cakalele. Gotong-royong pun masih umum dijumpai dan masih berlaku
sistem barter. Namun Dalam kurun waktu 1990 – 2000 perkembangan zaman dan
pengaruh budaya luar berdampak, hukum adat di Buli perlahan ditinggalkan
sehingga jika terjadi pelanggaran atau kejahatan cenderung diselesaikan secara
hukum nasional. Musik serta tarian lalayon pun sudah jarang dimainkan.
Selain itu, diawal ia berhipotesa bahwa saat pulang ia hanya akan menemukan
kasus perkelahian dan seks bebas di kalangan anak muda, tetapi ternyata terjadi
peningkatan kasus korupsi dan kasus pencurian di Buli, persaingan yang tidak
sehat antar anak muda dan organisasi, saling menjatuhkan satu sama lain, tidak
peduli terhadap kampung sendiri dan bahkan cenderung untuk mencari keuntungan
bagi diri sendiri. Hal-hal ini membuatnya sedih dan membuatnya terpanggil untuk
kembali untuk mengajarkan ilmu dan pengalamannya kepada anak-anak muda demi
terbangunnya karakter masyarakat Buli yang lebih baik, memiliki hidup yang
berguna bagi masyarakat.
Pengalaman-pengalaman yang ditemukan tiga anak
muda ketika berada di kampung halamannya di atas bagai sebuah sentuhan kecil
namun nyata yang mampu mengubah sikap dan cinta seseorang untuk berkomitmen
melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk kampung halamannya. (TRU).
Komentar
Posting Komentar