Kata ekklesia
dalam kehidupan kekristenan bermakna dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang Kristus
dan menerangi kegelapan yang ada di dunia. Orang Kristen khususnya anak muda perlu
berefleksi, apakah nilai-nilai kekristenan itu masih menjadi pedoman? Apakah
kehidupan spiritual dan kehidupan sehari-hari merupakan dua bagian yang
terpisah? Sudahkah nilai-nilai kekristenan mewujud dalam kehidupan sehari-hari
anak muda Kristiani? Hal ini menjadi titik tolak Stube-HEMAT Yogyakarta
mengadakan program pelatihan Christianity pada 10-12 Maret 2017 di Wisma Asrama
UKDW Yogyakarta dan diikuti oleh tiga puluh dua peserta dari daerah yang
sedang kuliah di berbagai kampus di Yogyakarta.
Renungan
pembukaan Pdt. Bambang Sumbodo dari Roma 1:16-17: “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena
Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya,
pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Sebab di dalamnya nyata
kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada
tertulis: "Orang benar akan hidup oleh iman”. Firman ini mengingatkan anak muda
untuk kembali pada firman Tuhan, yaitu anugerah, iman dan firman Tuhan yang
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ariani Narwastujati, Direktur Eksekutif Stube-HEMAT
mengungkapkan bahwa Stube-HEMAT sebagai lembaga pendampingan mahasiswa
mendorong anak muda khususnya mahasiswa terus meningkatkan kemampuan
pengetahuan dan pengalamannya dalam menjawab tantangan lokal dan internasional.
Kemampuan mereka ini nantinya diharapkan bisa bermanfaat bagi orang lain di
sekitar mereka. Sejauh ini Stube-HEMAT telah ada di Yogyakarta dan Sumba, dan saat ini sedang ada perintisan multiplikasi Stube HEMAT di Bengkulu.
Sejarah
kekristenan dan reformasi gereja yang dilakukan Martin Luther berpengaruh ke berbagai wilayah Eropa yang juga
berdampak sampai ke Asia bahkan Indonesia. Salah satunya adalah adanya berbagai denominasi
gereja di Indonesia. Hal ini dipaparkan oleh Pdt. Dr. Jozef MN Hehanussa, pengajar di
Pascasarjana Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Selain itu, anak muda diingatkan tentang tantangan gereja yang harus
menjawab konteks masalah saat ini sebagaimana yang ada dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
2015-2030 seperti: kemiskinan,
ketahanan pangan, kehidupan yang sehat, pendidikan yang inklusif dan
berkeadilan dan kesetaraan gender.
Achmad Munjid,
pengajar
di Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengungkapkan relasi Muslim dan Kristen terkadang tidak terjadi karena ada ‘barrier’ atau
penghalang, yaitu prasangka yang muncul di antara orang Muslim dan orang Kristen itu sendiri. Di
satu sisi ada prasangka kristenisasi, sementara di pihak lain ada prasangka terwujudnya negara Islam. Prasangka
muncul karena mereka belum ada pengalaman berinteraksi bersama-sama.
Menurutnya, ruang-ruang untuk bertemu inilah yang harus diadakan sehingga
prasangka-prasangka akan terkikis dan berganti dengan sikap kebersamaan.
Sikap anak
muda Kristiani untuk bangsa dikritisi oleh Brigjen (purn) TNI Noeryanto. Anak
muda harus melihat kembali perjalanan sejarah bangsa dan berani memegang
kebenaran meski menghadapi resiko. Ia mengungkap tantangan ketika masih
berdinas sebagai tentara dan memaparkan asas kepemimpinan yang harus dimiliki
anak muda, seperti ketakwaan, ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, waspada purba wasesa, ambeg paramarta, prasaja, satya, gemi nastiti, blaka dan legawa. Makna dalam
bahasa Indonesianya kurang lebih demikian: bahwa sebagai pemimpin harus memberi
contoh di depan, menyemangati, dan memberi kebebasan dalam koridor yang
ditetapkan, pemimpin harus selalu waspada, rendah hati, sederhana, setia, tidak
boros, jujur dan berani mengakui kesalahan.
Peserta
selanjutnya bekerja kelompok merumuskan nilai-nilai kekristenan dan menemukan
realita permasalahan yang terjadi di sekitar mereka dan merenungkan sudahkah
nilai-nilai kekristenan menjawab permasalahan yang terjadi dan apa yang bisa
anak muda lakukan sebagai terang menjawab permasalahan tersebut.
Rut
Merani, peserta mahasiswa STAK Marturia dari OKU Timur, Sumatera Selatan
berkata, “Di dalam pelatihan ini saya mendapat pengetahuan baru yang memotivasi
saya untuk melakukan sesuatu. Walaupun saya masih kurang aktif, pelatihan ini
membangun kepercayaan diri saya untuk berani bercerita tentang diri saya dan
daerah saya. Saya ingin melakukan sesuatu yang baik untuk daerah saya.“
Sebuah
otokritik
untuk anak muda Kristen di Indonesia saat ini untuk hidup inklusif dalam
kemajemukan, membuka diri dengan perbedaan, menjaring kerjasama dengan semua
orang dan tetap
berusaha
untuk
berpartisipasi menjawab permasalahan yang dialami masyarakat di Indonesia. Anak muda,
tetaplah menjadi ekklesia. (TRU).
Komentar
Posting Komentar