Pada hari Jum’at,
24 Maret 2017, Stube-HEMAT Yogyakarta berkesempatan untuk melakukan sosialisasi
kepada teman-teman Persekutuan Mahasiswa Kristiani Institut Teknologi
Yogyakarta. Sosialisasi dilakukan bersamaan acara ibadah rutin mingguan
mahasiswa. Ada sekitar enam belas peserta yang hadir mengikuti ibadah dan
sosialisasi. Setelah selesai ibadah, Sarloce, salah satu tim kerja Stube HEMAT
Yogyakarta diberi kesempatan menyampaikan apa itu Stube HEMAT dan program-program
yang dilakukan lembaga ini. Dalam acara tersebut dijelaskan bahwa Stube adalah lembaga
pendampingan mahasiswa bagi mahasiswa yang menempuh studi di Yogyakarta. Beberapa
contoh program yang pernah dilakukan meliputi Manajemen Konflik, Pertanian Organik, Masalah Anak Muda dan masih
banyak lagi.
Untuk lebih jelas
mengenai pelayanan program di Stube HEMAT, diputarlah sebuah video yang berisi
kegiatan Stube di tahun 2015 dan 2016. Setelah selesai pemutaran video seorang
mahasiswa bernama Riyandi bertanya, “Apa cara yang dilakukan Stube dalam
merangkul teman-teman yang berbeda keyakinan dan budaya?” Dijelaskan pada
kesempatan itu bahwa Stube HEMAT terus melakukan pendekatan dengan teman-teman
yang berbeda budaya dan agama dengan membangun silaturahmi dengan mereka. Apabila
komunikasi terjalin dan sudah saling kenal satu dengan yang lain maka sudah
pasti akan ada kepercayaan. Proses membangun rasa percaya bukan sesuatu yang instan
tetapi dapat dicoba meski perlu sedikit kesabaran.
Timotius
bertanya, “Mengapa Stube hanya di Sumba dan Bengkulu sedangkan banyak tempat
lain di Indonesia?” Membuka Stube di lain tempat tidak seperti membuka cabang
toko, karena harus dimulai dari keterpanggilan. Stube HEMAT Sumba dan Bengkulu dibawa
oleh mereka yang pernah aktif di Stube HEMAT Yogyakarta. Jika teman-teman ingin membangun
di tempat lain bergabunglah dengan Stube agar Stube dapat dibangun di Sulawesi,
Papua, Kalimantan dan kota lain di Indonesia.
Elisabet Uru
Ndaya (Elis), salah satu aktivis di Stube HEMAT Yogyakarta bercerita bahwa sebelum
mengikuti Stube dia tidak banyak tahu tentang motif kain Sumba, meski dia
berasal dari Sumba. Tetapi saat bergabung dengan Stube HEMAT Yogyakarta, dia
mendapatkan tantangan karena selalu dikatakan “orang Sumba kok tidak tahu motif
pada kain Sumba”. Dari kalimat ini Elis menerima tantangan untuk mengikuti
program Eksposur Lokal dengan meneliti dan belajar filosofi motif kain Sumba. Saat
ini dia merasa lebih diperkaya dan lebih dekat dengan kampung halamannya.
Sebagai
penutup, Sarloce menyampaikan bahwa Stube tidak menyediakan segala yang mahasiswa
butuhkan tetapi Stube merupakan batu pijakan
bagi bagi teman-teman untuk meloncat lebih jauh seperti mendapat pengalaman dan
pengembangan kemampuan pribadi. (SAP).
Komentar
Posting Komentar