Dalam seminar ilmiah yang diadakan di kampus STPMD “APMD” 29 April 2017
sebuah tema diangkat untuk diketahui oleh khalayak umum. Tema tersebut mudah
diucapkan, “Crime Against Humanity
(Kejahatan terhadap kemanusiaan) dan Genosida”, tetapi sangat sulit dalam
kenyataan.
Sepintas, kejahatan terhadap kemanusiaan dan Genosida bermakna sama, yaitu pemusnahan
terhadap kemanusiaan dan bertautan erat dengan pelanggaran HAM, tapi jika
ditelisik lebih dalam, kedua istilah tersebut memiliki arti masing-masing. Kejahatan terhadap
kemanusiaan memiliki korban yang berasal dari penganut ideologi dan paham
politik tertentu, contoh pembantaian terhadap Kulak (petani kaya dalam bahasa Rusia) oleh rezim Stalin yang
memaksakan konsep sosialisnya.
Sedangkan
Genosida menurut konvensi Genosida yang ditetapkan dalam sidang umum PBB 1948
di Paris yang diprakarsai oleh Raphael Lemkin (advokat Polandia, penemu konsep
Genosida), berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan tujuan merusak,
keseluruhan ataupun sebagian dari suatu kelompok bangsa, etnis, rasial dan
agama. Contoh pembantaian etnis di Rwanda dan Bosnia.
Mencegah Pengulangan
Mempelajari
sejarah masa lalu bukan saja menambah ilmu, tapi juga sebagai pengingat bagi
generasi masa depan agar tidak mengulangi kesalahan fatal di masa lampau.
Seiring berjalan waktu bukan tidak mungkin kasus pembantaian besar-besaran bisa
terulang, sebab hanya satu negara di dunia yang memasukkan korban politik ke
dalam korban genosida, sehingga negara ini dapat meminimalisir korban ketika
terjadi pergolakan politik.
Mengapa
demikian? Sebab kerangka penindakan pada kasus kekerasan terhadap kemanusian
(yang dipakai pada korban politik) memiliki fokus hanya pada pengakuan korban,
sehingga efek jera untuk pelaku di akar rumput tidak berdampak signifikan. Tapi
genosida memiliki fokus dari perspektif pelaku maka dapat diketahui apa niat
dan motifnya. Dari situlah tindakan pencegahan terhadap pewarisan niat pada anak cucunya dapat dilakukan.
Prof. Akihisa
Matsuno (peneliti sejarah dan hukum internasional, Universitas Osaka) yang
hadir sebagai pembicara, mengatakan “adalah sangat penting untuk terus menerus
menuntut agar penghancuran kelompok politik diperlakukan serius sejajar dengan
genosida. Karena dalam sejarah umat manusia kejahatan berskala besar hampir
semua ada hubungannya dengan motivasi politik”. Beliau juga memberi referensi
pendukung dalam konstitusi kerajaan Belanda, ayat 1 yang berbunyi “Diskriminasi
dengan alasan agama, kepercayaan, tanggapan
politik, ras atau seks atau dengan alasan apapun tidak diperbolehkan”.
Sebagai closing statement ia
mengatakan “Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat lagi untuk tidak memasukkan
kelompok korban politik ke dalam genosida”.
Seminar siang
itu memberi pengetahuan baru yang praktis bagi pemuda saat ini, bahwa apapun
motif dan niatnya, pelanggaran HAM berat mesti ditindak agar terjadi
rekonsiliasi antara pelaku dan korban, terutama sebagai garansi tidak
berulangnya kejadian serupa di masa depan. (SRB).
Komentar
Posting Komentar