Diskusi pembuka yang diselenggarakan oleh Stube-HEMAT
Yogyakarta untuk mengawali program Studi Perdamaian: Manajemen Konflik dan Resolusi, pada hari
Senin, 28 Agustus 2017 terasa menarik. Mengapa? Pembicara dalam diskusi tersebut
adalah Ustadz Hasyim
Abdullah, S.E seorang penulis dan praktisi dakwah Islamiyah yang
berbicara di tengah-tengah mahasiswa Kristiani. Sebagai anggota FKUB Daerah Istimewa
Yogyakarta, Ustadz Hasyim memberi apresiasi positif atas kegiatan yang dilakukan oleh
Stube-HEMAT Yogyakarta karena membuka ruang perjumpaan
antara tokoh Islam dan anak-anak muda Kristen. Perjumpaan-perjumpaan semacam
ini akan mencairkan kebekuan komunikasi antar kelompok yang akan menumbuhkan
rasa saling percaya.
Menurut Ustadz, ‘Membangun
Interaksi Lintas Agama yang Konstruktif’ bisa jadi ‘ya’ bisa juga ‘tidak’
mungkin, bergantung pada
kemauan orang itu. Jika ingin hidup sendiri berarti tidak perlu memiliki relasi
dengan orang lain atau menganggap orang lain itu tidak perlu ada. Namun realita
berbicara bahwa kita
hidup di Indonesia yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau, beragam suku, agama
dan bahasa yang berbeda-beda dan bahkan saat ini mobilitas penduduk antar
daerah sudah tinggi, lebih-lebih ditunjang dengan kemajuan teknologi sehingga mau tidak mau interaksi
dengan banyak orang yang berbeda latar belakang itu pasti terjadi. Siapa pun bisa
secara mudah berinteraksi dan mengungkapkan pendapat dan pemikirannya. Dari interaksi yang terjadi, tidak jarang muncul perbedaan pandangan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya. Perbedaan ini bisa menimbulkan konflik jika
tidak dikelola dengan baik. Bagi yang gagal menerima perbedaan akan bereaksi
secara terbuka sebagai lawan yang merusak (menimbulkan konflik),
namun sebaliknya, bisa terjadi reaksi yang
konstruktif.
Selanjutnya Ustadz
Hasyim memaparkan beberapa poin untuk membangun interaksi lintas agama yang konstruktif,
diantaranya: pertama, mempelajari kembali
relasi Islam dan Kristen dalam lintasan sejarah ada beberapa tokoh, seperti
Warrabah bin Nawfal bin Assad bin Abd al-Uzza penerjemah kitab Kristen ke
bahasa Arab pada masa itu. Kemudian ada raja Negus (Islam=Najas) pada tahun 600
M. Seorang raja yang bijak dan tidak ingin ada rakyatnya yang terzalimi. Ia
menampung nabi Muhammad SAW dan pengikutnya untuk tinggal di daerah di
kerajaannya dan kaisar Romawi Timur (Bizantium) yang memiliki hubungan baik
dengan pengikut Islam pada waktu itu. Kedua,
memahami kebhinekaan dalam realitas sosial yang ada di Indonesia, jadi seorang
manusia tidak boleh merasa dirinya lebih mulia, lebih superior, lebih hebat dan
lebih-lebih lainnya. Sebaliknya, tidak boleh merasa rendah dari manusia lainnya.
Ketiga, memahami kebhinekaan dalam konteks agama. Agama adalah keyakinan yang ada
dalam hati manusia. Dalam konteks ini, tidak ada
seorang pun yang sanggup
mengintervensi hati manusia untuk meyakini suatu agama, karena sejujurnya hanya dirinyalah yang mengetahui hubungan dirinya
dengan Tuhan. Saya menjalani keyakinan
yang saya yakini dan setiap orang yang meyakini keyakinannya
harus berusaha mendalaminya. Perdamaian harus selalu
diusahakan dan disebarkan,
meskipun sebagian orang masih kurang menyadari perlunya
menciptakan perdamaian.
Di akhir diskusi Ustadz berharap bahwa interaksi lintas agama yang konstruktif bisa terwujud
jika masing-masing pemeluk agama bisa mengikis prasangka dan rasa curiga satu
sama lain. Di sisi lain, ditegaskan kembali bahwa perlu memperbanyak ruang interaksi
atau perjumpaan antar pemeluk agama yang mengarah untuk kebaikan bersama. Ini saatnya anak muda menjadi
inspirator perubahan dan perdamaian. (TRU).
Komentar
Posting Komentar