Mahasiswa merupakan kelompok
masyarakat yang memiliki kesempatan mengembangkan kemampuan intelektualnya untuk mendalami bidang yang diminatinya di
perguruan tinggi. Mahasiswa dipandang masyarakat sebagai calon intelektual yang enerjik, bersemangat
dan berdedikasi, kritis, cerdas dan berilmu. Mahasiswa perlu berjejaring untuk
memperkuat pengaruh dan impact kepada
masyarakat.
Sebagai wujud upaya membuka
dan memperkuat jejaring, sekelompok mahasiswa aktivis Stube-HEMAT Yogyakarta
yang terdiri dari Robertus Letigalli, Siprianus Ndawa Lu, Anna Astri Don dan
Redy Hartanto berinisiatif mengadakan diskusi bersama mahasiswa KMK Unriyo pada
hari Jumat, 29 September 2017 di kampus Unriyo, Kledokan dengan topik Mahasiswa
dan Pemetaan Konflik.
Ada dua puluh enam peserta hadir dalam diskusi ini, yang
terdiri dari mahasiwa KMK Unriyo, STAK Marturia, kelompok follow-up dan team
Stube-HEMAT Yogyakarta. Yulius, ketua KMK Unriyo dalam pembukaannya
mengungkapkan rasa senangnya dan berterima kasih atas kerjasama ini. Ia berharap
diskusi berjalan baik dan belajar bersama. Di sesi perkenalan, peserta
memperkenalkan nama, asal daerah dan program studi yang dipelajari. Ternyata hampir
90% peserta diskusi berasal dari luar pulau Jawa.
Berikutnya, Trustha
Rembaka, koordinator Stube-HEMAT Yogyakarta memperkenalkan Stube-HEMAT dan
aktivitasnya yang membangun kesadaran anak muda dan mahasiswa untuk memahami
masalah di sekitarnya. Ia mengajak mahasiswa tidak ‘memisahkan diri’ dari
masyarakat di sekitarnya, namun harus ‘terlibat’ dalam dinamika masyarakat di
mana ia tinggal. Ia menambahkan bahwa diskusi ini merupakan tindak lanjut dari
pelatihan Studi Perdamaian yang diikuti oleh Robertus dkk beberapa minggu
sebelumnya.
Redy Hartanto, salah satu
anggota kelompok follow-up, menyampaikan sesi Mahasiswa dan Konflik yang mana peserta
diajak berpendapat tentang apa saja penyebab konflik. Ternyata seorang
mahasiswa pun bisa menjadi penyebab timbulnya konflik sekaligus penyelesai
konflik. Ia menjelaskan bahwa meski konflik menimbulkan hal negatif dan merugikan, ada juga sisi
positifnya. Benarkah? Ya! Dampak negatif konflik seperti perselisihan,
kebencian bahkan kekerasan, sedangkan sisi positif konflik adalah pihak-pihak
yang terlibat konflik akan mengasah pikiran dan memperdalam pengetahuannya
untuk mengenal dan memetakan konflik hingga menemukan berbagai solusi terhadap
konflik yang dihadapi.
Selanjutnya peserta
dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat orang dan saling
bercerita tentang konflik di daerahnya. Kemudian masing-masing kelompok memilih
satu konflik untuk dipetakan akar penyebabnya, siapa saja yang terlibat, apa
saja kepentingan masing-masing pihak dan dampak konflik. Tidak menutup
kemungkinan dari diskusi mereka merumuskan alternatif solusi konflik. Anggota
kelompok follow-up pelatihan Studi Perdamaian, seperti Robertus, Siprianus,
Astri dan Redy serta team Stube-HEMAT Yogyakarta memandu jalannya diskusi di
masing-masing kelompok.
Setelah tiga puluh menit
berdiskusi, ada dua kelompok membagikan hasilnya, pertama, konflik antar kelompok orang yang berujung pada
perkelahian dan kekerasan. Kelompok ini menemukan penyebab konflik, seperti mudahnya
seseorang memperoleh dan minum minuman keras dan rendahnya pendidikan. Usulan solusi
kelompok ini adalah pembatasan usia pembeli minuman keras dan peningkatan
kesadaran sosial melalui perbaikan pendidikan. Kedua, konflik laten yang terjadi di sebuah kawasan di Kalimantan
Tengah karena tidak jelasnya kepemilikan tanah untuk kebun kelapa sawit.
Kelompok ini memetakan siapa-siapa saja yang terlibat, apa saja kepentingan
mereka dan apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa yang berada di kawasan
tersebut.
Dalam penutupnya Redy
mengingatkan peserta bahwa mulai saat ini, setelah mengikuti diskusi mahasiswa
dan konflik, anda semua sebagai mahasiswa ketika menghadapi suatu konflik bisa
lebih tenang dalam bersikap dan cerdas dalam memilih alternatif solusi
penyelesaian konflik. Selain itu, ia berharap pertemuan-pertemuan seperti ini
bisa dilakukan secara kontinyu. (TRU).
Komentar
Posting Komentar