Datang dengan asa, pulang dengan … (dilengkapi sendiri oleh masing-masing mahasiswa yang
merantau untuk studi di Yogyakarta), menjadi judul pelatihan ‘kemampuan
bertahan hidup’ yang diselenggarakan oleh Stube HEMAT pada hari Jumat-Minggu (10-12/11/2017) di Wisma Pojok Indah,
Sleman yang dihadiri 48 peserta. Pelatihan ini bertujuan agar mahasiswa
memiliki sikap hidup baik, pengetahuan dan keterampilan untuk bertahan hidup
sebagai mahasiswa di Yogyakarta.
Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan karena ada ratusan perguruan tinggi negeri dan
swasta, sehingga wajar menjadi tujuan belajar mahasiswa dari berbagai daerah di
Indonesia. Meski Yogyakarta dikenal karena keramahtamahan dan kemudahan, ternyata tidak sedikit mahasiswa belum
memiliki persiapan yang baik untuk kuliah, mengalami culture shock dan belum mampu
memilih kegiatan-kegiatan yang mendukung studinya. Keadaan ekonomi keluarga dan
ketidakmampuan mengelola waktu ikut mempengaruhi studi mereka bahkan rentan terjerat hal-hal negatif, seperti miras, seks bebas, kriminal
dan akhirnya gagal menyelesaikan studi.
Di awal pelatihan Sarloce Apang memperkenalkan Stube-HEMAT
sebagai wadah belajar dan pemberdayaan mahasiswa, dilanjutkan multiplikator
Stube HEMAT Bengkulu, Yohanes Dian
Alpasa yang membagikan pengalaman ketika mengikuti kegiatan Stube-HEMAT yang
kemudian mendorongnya merintis Multiplikasi Stube-HEMAT di Bengkulu. Untuk
membekali peserta bagaimana bertahan ketika menghadapi perubahan yang tidak
bisa ditolak, Robinson P. Aritonang membedah buku berjudul ‘How to Survive Change
You Didn’t Ask For’ yang mengungkap tips-tips dalam menghadapinya.
Hari berikutnya peserta belajar mengenal Yogyakarta bersama Trustha Rembaka yang memaparkan sejarah Yogyakarta,
peran kota ini dalam sejarah Indonesia dan berbagai tempat yang mendukung belajar
mahasiswa. Seorang jurnalis Tribunjogja, Sulistiono diundang juga untuk mengungkap
ancaman narkoba dan seks bebas di kalangan mahasiswa. Menurut data Polda DIY,
dari Januari s.d. Agustus 2017, ada 372 orang terjerat kasus narkoba dan 1.078 remaja putri
melahirkan, 976 di
antaranya adalah kehamilan
tidak diinginkan. Sulistiono berpesan agar mahasiswa selalu mawas diri terhadap
gaya kehidupan kota.
Testimoni beberapa mahasiswa melengkapi pelatihan ini. Arnita Marbun,
seorang pekerja sosial memaparkan bagaimana ia mendampingi mahasiswi untuk
tetap bangkit dan menyelesaikan studinya meskipun mengalami kekerasan seksual. Retno
Puji Astuti, seorang mahasiswi yang bisa menginspirasi peserta karena berhasil
menyelesaikan studi kebidanan dengan cum laude, meski kedua orang tuanya
tunanetra. Lebih menakjubkan adalah Vindi Dwinantyo, meskipun ia tunanetra,
ia tak ingin keterbatasan itu membatasi hidupnya, bahkan saat ini ia sedang kuliah
S2. Para fasilitator ini sungguh menggugah peserta untuk lebih giat dan kreatif
dengan segala kelebihannya.
Stephanus Benny, mahasiswa Magister Psikologi UGM memandu peserta
memetakan potensi diri dan kerentanan diri. Ia menjelaskan bahwa setiap studi harus
memiliki tujuan jelas, apa yang hendak dicapai. Seorang mahasiswa pun dituntut
mandiri, salah satunya bisa melakukan bisnis kreatif. Indah Theresia menawarkan beberapa
langkah untuk berbisnis sesuai
perkembangan zaman dan peluang pasar, memanfaatkan waktu luangnya dan menggunakan barang yang ada sebagai modal. Sesi
ini diperkuat
oleh
pengalaman dua mahasiswa ketika berada di Yogyakarta, Yohanes Dian Alpasa yang sering menulis di media massa dan berjualan koran dan Yoel Yoga Dwianto
dari Lampung yang membuat kebun
sayur organik dan mengembangkan musik jimbe sebagai bisnis kreatif dan membuka kursus musik.
Di hari terakhir, Dr. Murti Lestari, M.Si., board Stube-HEMAT mengajak mahasiswa belajar
dana desa dan penggunaannya, sehingga ketika kembali ke daerah asalnya, mereka
bisa memantau dan memanfaatkan dana desa untuk kesejahteraan masyarakat. Di akhir acara, peserta
merancang kegiatan untuk berbagi pengalaman. Hanis, dkk mengadakan diskusi kecil di
kampus Janabadra dan Maritjie dkk mengumpulkan mahasiswa dari kepulauan Aru dan berdiskusi tentang kuliah
di Yogyakarta.
Mahasiswa pasti mampu bertahan hidup sebagai mahasiswa jika
ia tahu tujuan hidupnya, mampu beradaptasi, tahu potensi diri, dan selalu merespon
perubahan yang terjadi dengan positif. (ELZ).
Komentar
Posting Komentar