Sabtu, 18
November 2017, hari yang dinantikan oleh
mahasiswa dan aktivis Stube-HEMAT Yogyakarta untuk belajar tentang Kraton Ngayogyakarta,
sejarah dan peran dalam perjuangan bangsa, pendidikan, kebudayaan, dan kehidupan. Siti Amirul, salah satu staff wisata kraton
memandu peserta menuju Gadri Kasatriyan
sambil menjelaskan bagian-bagian kraton yang dilalui seperti
bangsal Srimanganti untuk menanti
kehadiran Sultan, bangsal Trajumas untuk
mendengar pertimbangan dari Sultan, Panitrapura
atau administrasi Kraton dan Prabayeksa
atau kedhaton sebagai bangunan utama kraton. Meski berusia lebih dari 200 tahun, kraton masih
digunakan sebagai kompleks tempat tinggal raja sampai sekarang dan tercatat
sebagai bangunan warisan dunia oleh UNESCO di
tahun 1995.
Rombongan Stube HEMAT Yogyakarta disambut ramah oleh KPH Yudohadiningrat dan KRT Rinto Isworo yang membuka dialog dan mengungkapkan rasa senangnya atas kunjungan
ini. Ariani Narwastujati, direktur Stube-HEMAT, menyampaikan rasa terima
kasih setinggi-tingginya karena rombongan mahasiswa
ini mendapat ijin berkunjung dan belajar tentang Kraton Yogyakarta. Mahasiswa dari berbagai latar belakang studi,
suku dan asal daerah merasakan bahwa Yogyakarta memiliki toleransi yang sangat baik dengan menerima mereka belajar di kota
ini, tentu saja Kraton Yogyakarta menjadi bagian yang menarik untuk dikenal
lebih dalam.
KPH
Yudohadiningrat dengan jelas memaparkan sejarah Kraton Ngayogyakarta yang berawal
dari perjanjian Giyanti pada tanggal 13
Februari 1755 yang menyatakan bahwa kerajaan Mataram dibagi dua, yaitu
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang dipimpin Susuhunan Paku Buwono dan
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dipimpin Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Dalam mengawali pembangunan pusat
kerajaan Ngayogyakarta, Pangeran Mangkubumi mendapat ‘bisikan’ tentang sebuah
tempat yang suci dan bersih yang berada di
antara gunung Merapi dan pantai Parangkusumo, terletak di
antara beberapa sungai, yaitu Winongo, Bedog dan Progo di
sebelah barat dan Code, Gajahwong dan Opak di sebelah timur. Ketika ditemukan, lokasinya
berupa hutan belantara yang bernama hutan Beringan, dengan desa
kecil bernama Pacetokan. Sembilan Oktober
1755 merupakan awal usaha membuka hutan dan membangun pusat
kerajaan. Pembangunan selesai pada 7 Oktober 1756 dan mulai ditempati oleh keluarga kerajaan. Tanggal ini dicatat
sebagai hari jadi kota Yogyakarta.
Bangunan Kraton Ngayogyakarta
terdiri dari beberapa bagian, yaitu Kedaton atau Prabayeksa (sedang renovasi), bangsal
Kencana, regol Danapratapa, pendhapa Srimanganti, regol Srimanganti, bangsal
Ponconiti, regol Brajanala, Siti Hinggil, Tarub Agung, pagelaran, alun-alun lor
dengan 64 pohon beringin. Bagian belakang ada Siti Hinggil
Kidul, alun-alun kidul, plengkung Nirbaya
dan panggung Krapyak. Berbagai tanaman sarat makna ditanam di kraton misalnya, di tengah alun-alun utara ada dua
beringin, beringin timur bernama Janadaru
(cahaya kemanusiaan) dan beringin
barat bernama Dewadaru (cahaya ilahi). Pohon lainnya ada pakel,
kweni, pelem, burahol, tanjung, sawo kecik, gayam, dan asem. Keunikan lain adalah sumbu imajiner dari
Gunung Merapi, Tugu pal putih, Kraton Yogyakarta, panggung Krapyak dan pantai Parangkusumo.
Keunikan ini membuat Yogyakarta masuk daftar the City of Philosophy dari UNESCO.
Di
lingkungan kraton ada abdi-abdi
kraton yang bekerja tulus dan ikhlas untuk kraton. Mereka mengenakan baju
khusus, yaitu ‘peranakan’, ikat kepala dan tanpa alas kaki. Ini artinya para
abdi kraton adalah bersaudara dan hidup dalam kesederhanaan tanpa
membeda-bedakan meskipun memiliki latar belakang pendidikan, agama dan usia
yang beragam.
Menjawab rasa
ingin tahu mahasiswa tentang Yogyakarta dan keistimewaannya, KPH Yudohadiningrat menjelaskan tentang
Gubernur dan wakil Gubernur yang adalah Sultan
dan Paku Alam yang bertahta. Sejarah Keistimewaan ini berawal di tahun 1945,
kesultanan Yogyakarta menyatakan bergabung dalam Republik Indonesia dan
Presiden Soekarno menetapkan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa melaui UU
3/1950 dan diperkuat dengan UU no 13/2012. Konsekuensinya adalah perubahan Yogyakarta
dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional, sehingga Sultan sebagai
gubernur pun mengikuti periode jabatan per lima tahun dan diangkat kembali
untuk lima tahun berikutnya.
Berkaitan
pertanyaan mahasiswa tentang apakah Sultan harus laki-laki, KPH Yudohadiningrat
mengungkapkan bahwa Sultan Hamengkubuwono X ingin menjadi teladan untuk masyarakat tentang seorang raja atau sultan yang
memiliki satu istri, tentang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, terlebih berdasarkan
buku-buku Kraton tidak pernah ditemukan keharusan
ataupun aturan yang menyatakan bahwa raja harus laki-laki, tetapi justru ditemukan tulisan Sultan Hamengkubuwono V yaitu ‘Serat Puji’, yang memuat ‘seyogyanya raja kraton itu
laki-laki, akan tetapi apabila sultan yang bertahta tidak memiliki anak
laki-laki dan hanya ada perempuan maka perempuan itu berhak menjadi raja.’ Jadi,
dasar utama adalah siapa sosok yang baik, mampu mengayomi dan membawa
kemakmuran untuk masyarakat.
Di dalam dialog
itu pula terungkap ada falsafah hidup dari Sultan Hamengkubuwono I, yaitu mangasah mingising budi, ambasuh malaning
bumi, dan hamemayu hayuning bawono, yang artinya mempertajam kepekaan hati,
membersihkan kotoran yang ada di bumi dan melindungi dan memelihara keselamatan
dunia. Bahkan lebih mementingkan karya untuk masyarakat daripada ambisi
pribadi.
Kunjungan di
Kraton Yogyakarta membawa mahasiswa menemukan tidak hanya bangunan dan
simbol-simbol tetapi juga warisan nilai-nilai kehidupan yang terus dihidupi
sampai saat ini. Mari anak muda, seiring belajarmu di Yogyakarta, temukan
nilai-nilai kehidupan dan wujudnyatakan dalam kehidupan sehari hari yang bermanfaat untuk masyarakat. (TRU).
Komentar
Posting Komentar