“Seseorang
yang menulis fiksi ibarat menggali sumur dengan sebatang jarum, memang tidak
mudah dan membutuhkan kerja keras. Ia harus mendapatkan ilham atau inspirasi, tetapi
ia tidak bisa menunggu inspirasi atau ilham melainkan harus mencari dan
menyongsong ide-ide”, ungkap Achmad Munjid mengawali Workshop Penulisan Fiksi pada hari Minggu,
5 November 2017 di sekretariat Stube-HEMAT Yogyakarta. Ini merupakan kerjasama
antara Stube-HEMAT Yogyakarta dan team S2 Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada
sebagai pengabdian kepada masyarakat.
Dua
puluh mahasiswa lintas kampus yang berasal dari berbagai daerah yang kuliah di
Yogyakarta dan pemuda pengurus kampung ramah anak setempat mengikuti Workshop yang
difasilitasi oleh Achmad Munjid, M.A. Ph.D, dosen di fakultas Ilmu Budaya UGM
bersama Sulistyaningtyas, Muhammad Zaenuddin dan Fardan Rezkiawan Faida,
ketiganya adalah mahasiswa S2 Ilmu Sastra UGM. Fasilitator merasa senang bertemu dengan peserta Stube-HEMAT Yogyakarta
dan salut akan gerak cepat Stube karena meski waktu persiapan sangat singkat,
tetapi mampu
mempersiapkan kegiatan dengan baik, dan terlihat antusiasme mahasiswa untuk
belajar penulisan fiksi.
Dalam pertemuan tersebut disampaikan bahwa menulis itu seperti olah raga dan
sedekah. Semua tahu bahwa dua hal itu baik, tetapi belum tentu mereka mau
melakukan. Orang tahu bahwa menulis itu baik, tapi
seberapa banyak yang benar-benar mau mengerjakannya? Menulis itu seperti naik sepeda, main
gitar atau berenang, tidak cukup tahu teori saja tetapi perlu latihan terus-menerus.
Selanjutnya,
diungkapkan
beberapa hal yang mesti dicermati dalam penulisan fiksi, pertama, cerita merupakan suatu peristiwa yang menggelisahkan pikiran,
konflik, dilema atau kejanggalan yang terjadi. Kedua, tentang plot atau alur, yaitu cerita memuat konflik, krisis
dan penyelesaian, di mana perlu memasukkan 3D, yaitu drama (yang menarik perhatian), desire
(adanya hasrat atau antusiasme), danger
(sesuatu yang menantang). Di bagian ini penulis perlu ‘memainkan’ jarak antara
konflik, krisis dan penyelesaian sehingga pembaca penasaran dengan cerita. Ketiga, berkait penokohan, ada kata
kunci ‘seeing is believing’ yaitu
penulis harus mampu menghadirkan tokoh dalam cerita fiksi secara jelas sehingga
pembaca seolah-olah bertemu langsung dengan tokoh tersebut. Keempat, mengenai sudut pandang cerita
dari orang pertama atau orang ketiga. Ini memiliki kelebihan masing-masing. Kelima, Latar dari cerita berkaitan
dengan waktu dan tempat kejadian suatu cerita dan tempat. Latar harus spesifik,
nyata dan historis sehingga pembaca merasa sesuatu yang nyata dan terlibat
dalam cerita meskipun fiksi. Terakhir,
pembuka dan penutup, penulis bisa membuat pembukaan dan penutup cerita secara bertahap
atau bahkan menyentak demi efektivitas penyampaian pesan cerita. Namun bisa
juga penutup cerita yang ‘mengganggu’
yang membuat pembaca terus memikirkan cerita tersebut.
Sesi
berikutnya para peserta berlatih menulis cerita fiksi. Mereka mengawali dengan
membayangkan suatu ide atau inspirasi, kemudian menulis pembukaan cerita fiksi.
Ada beberapa peserta yang menulis pembukaan cerita yang mampu memancing rasa
ingin tahu dari pembaca, seperti tulisan Anggita Getza tentang kejadian yang
mistis dan David Pamerean tentang ledakan di luar angkasa.
Di
akhir acara, Sulistyaningtyas, seorang penulis muda yang dikenal di dunia
penulisan dengan nama Tyas Effendi, yang telah menulis beberapa buku, seperti Tentang
Waktu, Catatan Musim, Life After You dan Dance for Two memberi apresiasi berupa
buku-buku karyanya kepada beberapa peserta yang beruntung. Ia juga membagikan
pengalaman tulisannya bisa terbit karena ketekunannya menulis dan belajar, jeli
melihat tema-tema tulisan yang sedang tren di kalangan pembaca dan mempelajari
karakteristik suatu penerbit.
Kemampuan menulis fiksi merupakan proses belajar, perlu terus menerus
dilatih sejak sekarang. Jadi, mulailah tumbuhkan semangat, songsonglah ide
dan menulislah. Jadikan tulisan fiksimu inspirasi yang mencerahkan pembaca.
(TRU).
Komentar
Posting Komentar