Yogyakarta dan Perubahaan
Berkurangnya ruang publik di
Yogyakarta, cepat atau lambat, akan mengubah manusia tidak lagi sebagai makhluk
sosial, tetapi menjadi makhluk individualis. Minimnya ruang yang bisa dijadikan
tempat bertukar pikiran, berkomunikasi atau sekedar merasakan kebersamaan tanpa
ada batas-batas sosial yang terstruktur menggiring orang masuk pada dunianya
masing-masing.
Banyak tempat sudah disulap menjadi tempat-tempat komersial, bahkan dijadikan indikator dari kelas mana seseorang berasal. Hal ini menjadi kekuatiran bersama beberapa komunitas yang ada. Komunitas Social Movement Indonesia (SMI), Stube-HEMAT, Tribunjogja, dan Toga Mas Affandi, mengadakan kegiatan diskusi buku untuk membuka ruang bagi anak muda dan mahasiswa bisa bertemu, berkomunikasi dan bertukar ide.
Banyak tempat sudah disulap menjadi tempat-tempat komersial, bahkan dijadikan indikator dari kelas mana seseorang berasal. Hal ini menjadi kekuatiran bersama beberapa komunitas yang ada. Komunitas Social Movement Indonesia (SMI), Stube-HEMAT, Tribunjogja, dan Toga Mas Affandi, mengadakan kegiatan diskusi buku untuk membuka ruang bagi anak muda dan mahasiswa bisa bertemu, berkomunikasi dan bertukar ide.
Pada kesempatan ini buku yang dibedah karya Selo Soemardjan berjudul “Perubahan Sosial di Yogyakarta”. Diadakan pada
tanggal 19 Febuari 2018, bertempat di Toko Buku Toga Mas, Gejayan, Yogyakarta,
bedah buku ini menghadirkan pembicara Eko Prasetyo (inisiator SMI), Elanto Wijoyono
(Warga Berdaya Yogyakarta), Anna Marsiana (Organization Development Consultant di CSS BfdW), dan dipandu oleh Hening Wikan (Mahasiswa Fisipol UGM) sebagai
moderator.
Menurut Anna Marsiana, Yogyakarta
bukan hanya sebuah kota, tetapi sebuah proses dinamis, tempat bertemunya banyak
aspek, elemen-elemen masyarakat yang berbeda. Ada 3 aspek yang harus
diperhatikan dalam melihat perubahaan yang terjadi, yakni (1) aspek sejarah, (2)
Peta pergerakan masyarakat merespon dinamika yang lebih cepat, dan (3) peranan
masing-masing individu.
Dalam kesempatan bedah buku ini, Eko Prasetyo
mengambarkan proses perubahan sosial pasca kolonialisme dan tentang aliran kiri.
Bahwa pada masa itu keberhasilan ide-ide revolusi sosial sangat diminati, saat
itu muncul tiga besar partai politik yang dipegang oleh kelompok kiri. Di
bagian akhir buku Selo Soemardjan ini terdapat petuah-petuah yang sangat
teoritis. Petuah tersebut menyatakan bahwa proses perubahan sosial terjadi
karena bermula dari perubahan-perubahaan dari luar. Ketika kaum kapitalis masuk
dan tidak mau mengikuti sistem yang berlaku, kelompok ini yang mewakili
perubahaan sosial di Yogyakarta. Terjadilah
kesenjangan sosial yang sangat terlihat tajam di Yogyakarta.
Pada sesi tanya jawab, Rintar warga
Jogja bertanya, “Apakah keistimewaan yang ada saat ini masih mendukung sistem tradisonal
atau harus dimodifikasi?” Penanya yang lain, Rafit warga Jogja, “Apakah
perubahaan itu terjadi begitu saja atau ada yang merubahnya, dan siapa yang
memegang kedaulatan?”
Menanggapi pertanyaan itu Elanto
mengatakan bahwa pemerintahan desa saat ini bukan lagi tradisional tapi sudah
rasional dan perubahanaan ada yang terencana dan ada yang tidak terencana. Sedangkan
Ana menanggapi pertanyaan tersebut dengan menyatakan bahwa sistem tradisonal
tidak lagi menjadi acuan utama karena undang-undang desa merupakan peluang bagi
semua masyarakat untuk menyuarakan ide dan gagasannya sementara perubahaan itu bisa
dikendalikan dan direncanakan.
Di akhir statement Eko Prasetyo mengutip tulisan
Selo Soemardjan, “ketika rakyat tidak mampu memuaskan sosialnya maka dia
akan menjadi rakyat yang komersial dan
kompetitif”. Maka dari itu kita butuh individu-individu yang mau bergerak dalam
permasalahan ini. Mari kita kembalikan kota ini menjadi kota pelajar yang
berciri khas kritis, berani, dan progresif.
Sementara Elanto mengajak setiap anak
muda yang ada di Yogyakarta ini untuk saling bertukar ide untuk permasalahan-permasalahan
yang terjadi. Selanjutnya, Ana mengakhiri dengan pengakuan bahwa perbedaan dan
keanekaragaman merupakan pondasi di Yogyakarta sejak awal dan situasi ini
diakomodir oleh banyak pihak, sehingga semua anak muda yang hadir di acara bedah buku tersebut diajak untuk terjun langsung
ke lapangan, melihat realita dan memperbaikinya. Jangan merasa ketika meluncurkan
‘statement’ di sosial media, sudah cukup melakukan pergerakan. (ITM)
(Terima kasih untuk SMI atas bantuan beberapa foto)
Komentar
Posting Komentar