10 Ide Menjawab
Realita
Berikan kesempatan kepada anak muda, maka
perubahan terjadi. Ini semangat Stube-HEMAT Yogyakarta melalui pelatihan
Spiritualitas di hotel Satya Nugraha, 23-25 Februari 2018, yang mendorong
anak muda dan mahasiswa mengungkapkan ide mereka untuk
daerah asal.
Yance
Yobee,
Seorang mahasiswa dari kabupaten
Dogiyai, Papua yang saat ini menempuh studi di Teknik Sipil, Universitas Janabadra. “Di daerah saya masih banyak kecenderungan
untuk berjudi, membuang sampah sembarangan bahkan di selokan dan hidup tidak
sehat. Hal-hal ini tidak baik dan saya ingin sosialisasi kepada masyarakat
untuk menjaga lingkungan, seperti rutin membersihkan saluran drainase, mengolah
ladang dengan baik supaya panen meningkat, bisa dikonsumsi sendiri dan dijual, juga sosialisasi
kepada masyarakat tentang masa kadaluarsa suatu produk. Saya berharap masyarakat mendapat pemahaman baru,
kondisi ekonomi, lingkungan dan sosial masyarakat semakin membaik. Perbaikan
kondisi ekonomi dan sosial ini akan mengurangi permasalahan sosial daerah
setempat”.

Maria
Modesthy Tefa,
Seorang muda dari
desa Kakaniuk, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur
yang saat ini sedang kuliah di Teknik Lingkungan, Institut
Teknologi Yogyakarta (ITY). “Kawasan Malaka Tengah
berupa dataran sedang (270-537 mdpl) dan sebagian besar masyarakat adalah petani,
sebagian lain adalah Pegawai Negeri Sipil, kepolisian, swasta dan lainnya. Ada sebuah
anekdot di sana, setinggi apa pun pendidikanmu dan di mana pun kerjamu, akhirnya
kembali pegang parang dan tajak (berkebun) juga”.

“Di pelatihan Spiritualitas ini saya mengenal Credit Union Cindelaras Tumangkar dan menyadari kondisi
ekonomi desa saya masih rendah. Mengapa demikian? Tidak mudah menjawab karena berkaitan
banyak aspek. Saya juga
mendengar pengalaman petani organik desa Jodhog menjadi petani bermartabat
melalui bertani organik. Di daerah saya petani menggunakan bahan kimia untuk pupuk, mematikan
rumput dan membunuh hama sehingga lahan semakin rusak. Menurunnya kualitas lahan,
gagal panen karena pestisida berlebihan telah terjadi, bahkan orang tua saya
pernah mengatakan kalau tanah sekarang tidak sesubur dulu”.
“Walau pendidikan saya belum tinggi, tapi saya memiliki
pengetahuan tentang lingkungan dan ingin berbagi. Saya termotivasi untuk membagikan
ide bertani organik kepada keluarga dan mengurangi bahkan meninggalkan bahan
kimia. Saya juga akan mendalami pertanian organik di Jodhog bersama teman-teman
daerah yang ada di Yogyakarta. Saya
berharap suatu saat nanti daerah saya menjadi lumbung pertanian organik,
seperti di Jodhog. Kapan? Tidak tahu, tetapi harus dimulai dari sekarang”.
Monika
Maritjie Kailey,
Saat ini kuliah
di Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, berasal
dari Kepulauan Aru, Maluku. “Saya
tertarik untuk banyak-banyak sharing
berkaitan dengan cross culture understanding dan positive mind-set. Hal ini didorong dari menceritakan kesalahpahaman
cara berpakaian dan budaya yang ada di daerah tertentu. Mari
kita perbaiki ‘mindset’ kita dengan tidak cepat mengatakan ‘ini salah’ atau ‘itu
benar’, ‘ini pantas’ dan ‘itu tidak pantas’, tapi berpikir positif bahwa berbeda daerah
artinya berbeda budaya. Rasa percaya diri dibangun dari keluarga dan lingkungan
untuk kita tumbuh”.

“Jika seseorang ingin dihargai, maka hargailah
orang lain terlebih dahulu, lebih tepatnya berperilaku sesuai dengan ruang dan
budaya di mana kita tinggal dan sesuaikanlah gaya hidup dengan tempat di mana
kita berada. Langkah-langkahnya adalah, pertama, berpikir positif terhadap
sesama, kedua, akrabkan diri dengan lingkungan dan orang-orang sekitar, ketiga,
hargai orang lain dan keempat, berperilaku sesuai dengan budaya dan kebiasaan setempat”.
Ram
Hara,
“Saya kuliah di Universitas Janabadra jurusan
Akuntansi, asal dari Mare, Maybrat, Sorong, Papua Barat. Dalam pelatihan
Spiritualitas ini saya mendapat gambaran arah ekonomi Indonesia ke depan, di
mana internet berperan di banyak hal, salah satunya bisnis dan ekonomi. Saya
memikirkan daerah asal saya yang sudah ada akses internetnya, namun masyarakat belum
memanfaatkan secara optimal, hanya sekedar membuka media sosial dan situs
lainnya, posting foto,
status bahkan mengakses situs porno. Pengguna internet didominasi anak-anak di bawah
umur karena rendahnya pengetahuan orangtua tentang internet”.

“Saya berpikir perlunya mendorong masyarakat untuk
meningkatkan manfaat berinternet. Saat saya liburan nanti saya ingin merealisasikan
ide-ide saya kepada masyarakat di daerah asal saya seperti sosialisasi
menggunakan internet dengan baik dan bermanfaat, mendorong orang tua ikut
mendidik anaknya dengan baik. Selain itu saya juga ingin bekerjasama dengan
Komunitas Pelajar Mahasiswa Mare (KPMM) Yogyakarta atau organisasi kedaerahan
lainnya”.
Wilton
Paskalis Dominggus Ama,
“Saya berasal dari Waingapu, Sumba Timur, Nusa
Tenggara Timur dan kuliah di Magister
Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Di masa lalu nilai ekonomi suatu barang masih rendah karena kebutuhan manusia sudah
tersedia di alam, tetapi sekarang nilai barang semakin tinggi karena persediaan
di alam berkurang. Kepentingan ekonomi menjadi prioritas dibanding lainnya, misalnya
spiritual, sosial dan lingkungan. Selain itu, rendahnya Sumber Daya Manusia berdampak
pada rendahnya kreativitas dan daya saing. Tidak jarang tuntutan ekonomi
mendorong munculnya kriminalitas”.

“Keseimbangan spiritual dan ekonomi perlu
diwujudkan karena spiritualitas adalah relasi manusia dengan Tuhan yang
diwujudkan dalam hidup sehari-hari, seperti mencukupi kebutuhan jasmani dan interaksi
dengan orang lain dan lingkungan. Saya memiliki beberapa ide, yang pertama, perhatian
pada pendidikan spiritualitas sejak anak-anak. Kedua, meningkatkan kesadaran
iman, hubungan antar sesama dan partisipasi dalam organisasi kemasyarakatan.
Ketiga, peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk memanfaatkan sumber daya
alam secara bijak dan keempat, melatih keterampilan atau minat seseorang sesuai
potensi daerah, seperti pertanian, peternakan dan budaya tradisional di Sumba sebagai
peluang pariwisata di Sumba”.
Anggita
Getza Permata,
“Saya tinggal di Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan kuliah di Universitas Sanata Dharma jurusan Sastra Inggris. Saya
melihat permasalahan di sekitar saya antara lain kurangnya pengetahuan masyarakat
tentang manfaat gawai untuk menambah pendapatan. Sebagian orang dewasa dan
lansia menggunakan gawai hanya untuk mengobrol di media sosial seperti Whatsapp,
tidak tahu manfaat lainnya. Sebagian lagi tahu manfaatnya tetapi belum tahu cara
menggunakan gawai untuk bisnis”.

“Saya ingin memberi tahu orang-orang di sekitar
saya tentang ekonomi digital dan pentingnya mengenal itu, membantu mereka menemukan
ide-ide produk yang akan dikomersilkan, dan mengajarkan pengoperasian gawai
untuk menunjang bisnis”.
Elliana Hastuti,
Dari
Solo Jawa Tengah, sast ini kuliah di Psikologi, Universitas
Sanata Dharma. “Setelah mengikuti pelatihan Spiritualitas,
saya memetakan situasi sosial yang terjadi di sekitar saya dan menemukan orang-orang
berpendidikan tinggi masih menganggur, tetapi di sisi
lain, perusahaan-perusahaan terus membuka lowongan pekerjaan. Ada apa dengan situasi ini? Mestinya orang-orang
berpendidikan tinggi memiliki kemampuan untuk bekerja dan integritas yang baik
dan perusahaan tidak kekurangan pekerja. Selain itu, anak-anak berhak mendapat
pendidikan yang layak, karena kepribadian bangsa dibentuk sejak anak-anak”.

“Ide-ide yang muncul dalam diri saya adalah,
pertama, mengumpulkan orang-orang yang menganggur dan melakukan edukasi tentang
pekerjaan, bakat dan minat yang ia miliki, kemudian mengembangkan. Kedua,
melalukan sosialisasi pentingnya karakter dan kepribadian anak yang kuat dan
baik, menanamkannya dalam diri anak, salah satunya melalui gereja (sekolah
minggu)”.
Danial Ndilu Hamba Banju,
“Pemahaman
yang saya dapatkan dari pelatihan Spiritualitas Stube-HEMAT Yogyakarta ini
adalah cara pandang saya yang semakin luas tentang Sumba. Ini penting karena
saya kuliah di jurusan Ilmu Pemerintahan SPMD APMD Yogyakarta. Kita tahu kalau kawasan Sumba mulai
berkembang, baik itu pembangunan wilayah, pariwisata, perdagangan, pendidkan
dan teknologi. Namun pertanyaannya adalah apakah masyarakat sudah siap dengan
perkembangan ini, seperti apa partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan
sejauh mana manfaat pembangunan terhadap masyarakat. Karena itu, ada ide-ide
yang muncul yang bisa dilakukan di desa saya di Kahaungu
Eti, Sumba Timur, seperti, perlunya dialog antara pemerintah dan masyarakat
tentang arah pembangunan, mendalami manfaat dan dampak dari pembangunan yang
akan dilakukan, perlunya masyarakat menjaga kearifan lokal masyarakat setempat,
dan generasi muda perlu melibatkan diri dalam perencanaan pembangunan dan
pelaksanaan pembangunan”.

Chindiani
Rawambaku,
“Permasalahan dan situasi sosial yang terjadi di
daerah saya, Tanbundung, Sumba Timur, NTT adalah kurangnya pertanian lahan
basah, kurangnya pengairan irigasi, kurangnya lahan pertanian dan kurangnya
perhatian pemerintah di bidang pertanian. Dari pelatihan Spiritualitas ini saya tergerak
untuk melakukan sesuatu untuk desa saya, yaitu menyampaikan ide penggunaan
bahan organik kepada petani, menggunakan pupuk alami dan membasmi hama bukan dengan
pestisida tetapi bahan alami. Ini sudah saya sampaikan kepada orang tua saya
dan mereka merespon dengan baik. Kemudian mengusulkan kepada pemerintah untuk
membangun irigasi untuk pertanian”.

Erfan Nubatonis,
“Asal saya dari Kefamenanu, Timor
Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur dan studi di Manajemen Rumah Sakit, STIE IEU. Saya menemukan pencerahan setelah
mengikuti pelatihan Spiritualitas Stube-HEMAT Yogyakarta dan pikiran saya
terbuka kalau spiritualitas harus mewujud dalam tindakan. Saya dibantu untuk melihat
realita yang terjadi di desa asal saya, Amarasi, Kupang, NTT yang selalu kesulitan air ketika musim
kemarau dan kesehatan kurang diperhatikan. Mereka berjalan beberapa kilometer
untuk mengambil air menggunakan jerigen untuk minum dan memasak”.

“Saya ingat di
Gunungkidul Yogyakarta, pernah mengalami hal yang sama dan penduduk membangun tandon
air. Ini bisa diwujudkan di daerah saya, penduduk perlu memiliki tandon air
sederhana. Karena itu saya berinisiatif pergi ke Gunungkidul dan mempelajari pembuatan tandon
air, sistem memanen air hujan dan penghijauan. Sekembalinya dari Yogyakarta saya
ingin berbagi cara mengatasi kekeringan melalui memanen air hujan ketika musim
penghujan, membangun tandon air sederhana dan menanam untuk penghijauan”.
“Selain itu, saya
juga menyadari kalau pohon kelapa banyak tumbuh di daerah saya. Selama ini penduduk
memanfaatkan pohon kelapa hanya buahnya dan untuk kayu bakar. Tetapi di
Yogyakarta saya menemukan berbagai kerajinan dari pohon kelapa. Saya ingin
mempelajari kerajinan kelapa di Yogyakarta dan setelah kembali dari Yogyakarta
saya akan mengajak penduduk mengolah produk dari pohon kelapa sebagai
pendapatan sampingan keluarga. Memang, kreativitas itu harus dimulai dari dalam
diri saya”.

Komentar
Posting Komentar