Apa Kabar Lumbung Pangan
Kita?
Merosotnya
kualitas tanah akibat
pemakaian
unsur kimia, gagal panen, serangan hama tanaman, kasus keracunan pangan karena
kontaminasi bahan kimia dan mikrobiologi, membuat manusia berpikir
betapa pentingnya
menjaga alam dengan mengurangi bahan kimia dan menggantinya dengan bahan organik atau pupuk kandang dan bahan-bahan alami lainnya untuk
menghasilkan pangan yang sehat, pangan yang organik. Pangan organik berasal
dari sistem pertanian organik yang menerapkan manajemen untuk memelihara
ekosistem untuk mencapai produktivitas berkelanjutan dengan melakukan
pengendalian gulma, hama dan penyakit melalui berbagai cara seperti daur ulang
residu tumbuhan dan ternak, seleksi dan pergiliran tanaman, manajemen
pengairan, pengolahan lahan dan penanaman, serta penggunaan bahan-bahan hayati.
Kecenderungan
manusia untuk memakai pupuk dan mengkonsumsi makanan organik merupakan satu
langkah maju untuk menyelamatkan bumi dari bencana dan kerusakan lingkungan
yang berkelanjutan, dan itu menjadi tugas dan tanggung jawab semua orang untuk saling mengingatkan pentingnya
menjaga alam tempat manusia hidup bersama.
Dari berbagai permasalahan
lingkungan, petani dan pertanian, serta pola hidup masyarakat khususnya mahasiswa yang sering tidak memperhitungkan makanan
organik dan sehat, Stube-HEMAT Yogyakarta mengadakan Pelatihan Pertanian
Organik “Apa Kabar Lumbung Pangan Kita?”
Tema ini memberi pemahaman kepada mahasiswa pentingnya pertanian organik
bagi keberlangsungan hidup dan rantai ekosistem alam.
Pelatihan yang
dilakukan selama tiga
hari dua malam, mulai dari 4-6 Mei 2018 di wisma
Camelia Kaliurang menghadirkan TO Suprapto, tokoh tani organik dari “Joglo
Tani” Yogyakarta, yang membawakan konsep dasar pertanian organik dengan menekankan ‘makan apa yang kita tanam, tanam apa yang kita makan’, sehingga kita bisa berdaulat atas pangan sekaligus
mengkonsumsi
makanan sehat dari produk organik. TO Suprapto juga memberi peluang studi bagi setiap
anak muda yang tidak mampu, untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi, dengan
catatan harus jurusan pertanian
Agar peserta mampu
melakukan pemetaan potensi dan resiko di daerah mereka, Dr. F. Didiet Heru Swasono, M.P., dosen Pertanian
Universitas Mercu Buana, fakultas Agro Teknologi menyampaikan
tentang pentingnya sertifikasi organik sebagai standar perlindungan
konsumen berdasarkan peraturan menteri dan standar nasional Indonesia, serta perlunya
kemampuan
melakukan pemetaan baik itu sosial budaya dan lingkungan bagi peserta
untuk kampung
halaman mereka.
Untuk
menyelaraskan antara materi dengan fakta lapangan maka pada hari kedua, semua peserta melakukan eksposur ke dua tempat, yakni Kelompok Wanita Tani “Bumi Lestari” di desa Sembung, Purwobinangun, Pakem
dan kebun buah dan pertanian “Kuncup” yang dikelola oleh Dedy Tri Kuncoro. Kedua tempat ini merupakan representasi dari
pertanian organik yang sudah berjalan dan bahkan berinovasi dalam pembuatan pupuk.
“Bumi
Lestari” sendiri
merupakan salah satu titik dari beberapa titik Lumbung Mataraman yang digagas oleh Sri Sultan HB X.
Sementara
di kebun buah
dan pertanian “Kuncup” yang dikelola oleh Dedy mengembangkan
tabulampot (tanam buah
dalam pot) yang
juga sudah dipasarkan ke luar daerah dan sayuran organik yang secara rutin
diproduksi dan dipasarkan di Yogyakarta. Keberpihakan Kuncup dalam edukasi
pertanian organik mewujud dalam lahan penelitian mahasiswa dan wahana kunjungan
wisata dan belajar pertanian. Di sini peserta tertarik pada pemanfaatan limbah telur sebagai bahan pembuatan pupuk organik.
Berbicara
pertanian tidak akan lepas dari ekonomi dan politik negeri ini. Indonesia
yang saat itu diangankan bisa swasembada beras membuka lebar masuknya berbagai macam jenis
pupuk kimia demi
revolusi hijau. Rahmat
Jabaril (seniman, tokoh kampung kreatif Dago Pojok), Eko Prasetyo (Social
Movement Institute) dan Paguyuban Petani Organik Jodhog, melengkapi percakapan dan pemikiran
mengenai kemandirian, kreativitas, isu-isu penyerobotan tanah, tantangan petani
Indonesia dan kesejahteraan rakyat.
Dua
puluh tujuh peserta sangat antusias mengikuti acara pelatihan tiga hari ini dan merencanakan
tindak lanjut, seperti membawa komunitas baru berkunjung ke paguyuban petani, mendalami pemanfaatan kelapa, mempromosikan pangan dan pertanian organik di media
sosial, menanam
obat herbal organik dan belajar pembuatan pestisida organik.
Siapa saja berhak mendapatkan kehidupan yang
layak dan sehat. Kehidupan yang sehat dan layak dibarengi dengan pola pikir dan
pola hidup sehat yang seimbang. Maka sebagai generasi muda penerus bangsa, mari budayakan hidup sehat
agar kita bisa menjadi agent of change
dan mampu melahirkan generasi yang lebih sehat, cerdas dan hidup layak bahkan
mandiri di negeri sendiri. (SAP).
Komentar
Posting Komentar