Agama-Agama dalam
Pergulatan
Politik
di Indonesia
Meski masih
tahun depan, suhu panas politik di Indonesia sudah terasa menjelang pemilihan
presiden, April 2019. Sudah pasti banyak agenda politik yang dirancang oleh 2
pasang kontestan yang akan berlaga. Akankah rakyat terseret dalam pusaran
panasnya kompetisi?
Satu hal yang
menarik bahwa GPIB Marga Mulyo Yogyakarta menggelar seminar bertema, “Agama-agama dalam Pergulatan Politik di
Indonesia” pada tanggal 22 September 2018.
Ada tiga narasumber yang hadir yaitu, Dosen FISIPOL UGM Prof. Dr. Cornelis Lay,
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Periode 2000-2005 Prof. Dr. Syafii Maarif,
dan Ketua Umum PGI Periode 2004-2014 Pdt. Dr. A. A. Yewangoe. Ketiga narasumber
ini menyatakan hal yang sama bahwa agama harus dijadikan landasan moral dan
etika dalam kehidupan berpolitik.
“Saat ini masyarakat memasuki fase baru dalam politik di
Indonesia dimana politik elektoral menjadi hukum baru. Semua orang merasa ikut
terlibat di dalam politik. Semua menjadi politisi, gereja menjadi politisi,
aktivis menjadi politisi, semua ikut terlibat mengurusi yang seharusnya bukan
tugasnya”, tutur Prof. Cornelis. Menurutnya, agama
dan politik dapat saling mengisi. Nilai-nilai
dalam agama dapat ditransfer ke dalam politik sehingga dalam berpolitik
tercipta tatanan yang lebih baik. “Pertarungan
antara paham fundamentalis Kristen dan Islam membuat politik Indonesia seakan-akan tersandera oleh dua hal itu. Politik identitas makin menguat dan saling
membenci”, ujarnya sambil memberikan contoh pertarungan antara Osama Bin Laden dan George W. Bush.
Sementara Buya Syafii Maarif mengatakan bahwa agama sebenarnya memberikan ketenangan dan kedamaian, tetapi pemeluknya justru tidak mempraktekannya. Hal ini bukan salah agama atau kitab sucinya tapi
manusia belum memahami apa yang diyakininya. Menipu atas nama agama sangat
mudah sekali, ungkapnya penuh semangat. Akal sehat mereka sudah tertimbun oleh
syahwat kepentingan-kepentingan. Makanya kita sebagai orang-orang yang waras
harus melawan budaya tidak waras. “Waras itu
penting lho saudara”, ucapnya diikuti gelak tawa dan tepuk tangan
peserta seminar. Selanjutnya Buya berpesan, agar generasi muda tidak anti politik. Sementara untuk para pemeluk
dari berbagai agama, ketua PP Muhammadiyah
(periode 2000-2005) ini berharap supaya ikut
terlibat dan tidak menutup mata. Buya juga berpesan untuk semuanya agar terus memupuk tali
persudaraan yang otentik dan tidak dibuat-buat.
Dalam kesempatan serupa Ketua Umum PGI (periode
2004-2014), Prof. A. Andreas Yewangoe mengatakan
bahwa politisasi agama dan agamaisasi politik adalah dua masalah klasik dan sudah tak asing lagi. Kita sebagai orang waras harus terus
mengevaluasi diri untuk menanggapi masalah lama ini. “Agama dapat
membebaskan dan dapat memperbudak pada saat yang sama”, tuturnya. “Tergantung bagaimana cara orang menginterpretasikan ayat-ayat kitab suci. Jika
diinterpretasikan dengan negatif maka
akan menjadi ayat-ayat yang menyalahgunakan kekuasaan, berarti di sini agama kehilangan fungsinya”, tambahnya tegas. Namun demikian, agama tidak
selalu negatif, tuturnya mengingatkan. Kekuasaan yang dilakukan secara positif
akan menjadi positif pula. Menurutnya, agama dan politik dapat berjalan bersama
dan tidak bertentangan asalkan agamawan pintar memilah antara jalur politik
moral dan politik praktis.
Seminar yang dihadiri kurang lebih 200 orang
ini ditutup dengan penampilan Interfaith Voices yang menyanyikan lagu-lagu
rohani dari berbagai agama. Memang, politik
tidak bisa dipisahkan dari manusia--Aristoteles.
Hari ini
menjadi pelajaran berharga bagi teman-teman mahasiswa Stube HEMAT untuk
memahami politik. (SIP).
Komentar
Posting Komentar