Berapa Harga Sesamaku?
Studi Sosial SMPK Tirtamarta BPK
Penabur
Pondok Indah Jakarta
Stube-HEMAT Yogyakarta
memberi pendampingan studi sosial bagi siswa-siswi kelas IX SMPK Tiurtamarta –
BPK Penabur, Pondok Indah, Jakarta pada tanggal 10-12 Oktober 2018. Kegiatan
yang dilakukan berupa aktivitas turun ke bawah (Turba) di 6 lokasi dan tinggal
bersama masyarakat (Live-in) di daerah Wates Selatan. Pada studi sosial kali
ini, sekolah mengusung judul “Berapa Harga Sesamaku?”. Pasti pembaca akan
mengernyitkan dahi dan berpikir apa maksud judul ini? Apakah berarti memasang
suatu harga kepada sesama manusia?
Menjadi pemikiran bersama
para guru dan pendeta sekolah bahwa ada kecenderungan seseorang menilai orang lain
berdasar kekayaan yang dimiliki dan kesuksesan diukur dari seberapa banyak
harta yang dipunyai. Pandangan ini tidak tepat karena semestinya seseorang
diperhitungkan dari seberapa manfaat dirinya untuk orang lain. Sejalan dengan
pemikiran tersebut, lembaga Stube-HEMAT ikut serta dalam pendampingan untuk
menanamkan kesadaran ini kepada para siswa melalui kegiatan pendampingan Studi
Sosial yang memberi mereka kesempatan berinteraksi langsung dan mengalami
secara nyata realita kehidupan dalam masyarakat. Kegiatan pendampingan sendiri
menjadi karakteristik dan spirit Stube-HEMAT karena lembaga ini fokus pada
pendampingan anak muda.
Enam lokasi Turba yang
dikunjungi yakni: sentra Batik Giriloyo, Yayasan Bumi Langit, Sekolah Helen
Keller, Wildlife Rescue Center, Omah Cangkem dan Chumplung Adji. Kelompok Batik
praktek membuat batik dan menghayati para lanjut usia yang tetap bersemangat
melanjutkan hidup bekerja sebagai pembatik sekaligus melestarikan motif-motif
batik tradisional di Batik Sungsang, desa Giriloyo, Imogiri, Bantul. Kelompok
Bumi Langit belajar tentang keseimbangan dan keutuhan lingkungan di Bumi Langit
Institute, Imogiri. Di sini siswa-siswa mengikuti ‘farm tour’ mengenali
ekosistem alam, murbei diolah menjadi selai, cantel atau sorgum menjadi bahan
dasar roti, ternak menghasilkan biogas untuk memasak dan pupuk organik dan daur
ulang air limbah menjadi layak pakai. Kelompok Omah Cangkem mendalami budaya
setempat yakni keterampilan dasar olah vokal dan berlatih menggunakan kentongan
menjadi sebuah komposisi lagu di sanggar Omah Cangkem, desa Bangunjiwo, Sewon,
Bantul. Kelompok Chumplung Adji melatih kreativitas merangkai kepingan
tempurung kelapa menjadi barang yang bermanfaat di Chumplung Adji, sanggar
kerajinan tangan di Guwosari, Pajangan Bantul. Sanggar kerajinan tangan ini memanfaatkan
limbah tempurung kelapa menjadi bermanfaat dan menguntungkan masyarakat
setempat. Kelompok Turba Helen Keller belajar mengasah empati dan kepedulian di
sekolah ini, sebuah Sekolah Luar Biasa yang mendampingi anak-anak cacat ganda. Para
siswa berdialog dengan para guru tentang panggilan mendampingi anak-anak
difabel dan semangat anak-anak difabel untuk mandiri. Kelompok WRC bergerak
menuju Pengasih, Kulonprogo, tepatnya di Wildlife Rescue Center (WRC), sebuah
lembaga yang memiliki perhatian, merawat dan mengembalikan satwa ke karakter
dan habitat aslinya. Di sini siswa mengidentifikasi ciri-ciri tanaman dan
berusaha menemukan tanaman tersebut dan mengenal satwa dan habitat aslinya.
Live-in memberi
kesempatan siswa-siswa tinggal dan beraktivitas selama tiga hari dua malam dan
beraktivitas bersama duapuluh enam keluarga jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ)
Wates Selatan, Kulonprogo yang tersebar di Triharjo (Wates), Depok (Panjatan),
Kranggan dan Sidorejo (Galur) dan Jatisari (Lendah). Pendamping dari
Stube-HEMAT membantu para siswa mengenal keluarga, lingkungan setempat dan
beraktivitas bersama mereka, seperti menanam padi, memberi makan ayam dan
memanen telur, menimba air, memandikan ternak, membuat anyaman, memasak,
menyapu, membuat kopra, berjualan kelapa muda, menyiram sayuran dan membuat
media tanam dan hidroponik. “Sungguh pengalaman yang mengesankan”, ungkap para
siswa.
Bapak Binzamin, salah
satu tuan rumah di Galur dan anggota majelis gereja setempat mengungkap rasa
senangnya menjadi ‘orang tua angkat’ dan berbagi pengalaman dengan para siswa
yang penasaran hidup di desa. Sekalipun singkat, interaksi dengan sesama
melalui Turba dan Live-in diharapkan memperkaya pengalaman peserta Studi Sosial
untuk memahami sesama, berefleksi tentang seberapa bermanfaat dirinya untuk orang
lain, menumbuhkan kesadaran diri atas hidup dan kehidupan serta adaptasi diri
terhadap lingkungan. Kiranya proses yang boleh terjadi menjadi bagian pembentukan
diri untuk lebih berkualitas. (TRU).
Komentar
Posting Komentar