Menginspirasi Dalam Keterbatasan
ASIAN Para
Games yang diselenggarakan di Indonesia sudah berakhir dengan capaian para
atlet yang luar biasa melampaui target yang ditetapkan di awal. Para atlet yang
memiliki kekurangan secara fisik mampu menginspirasi banyak orang lewat prestasi
yang membanggakan untuk Indonesia. Semangat hidup dan pantang menyerah ini juga
ditemui para siswa dan guru SMPK Tirta Marta-BPK Penabur, Pondok Indah, Jakarta
di Sekolah Luar Biasa Ganda-AB Helen Keller, saat berkunjung dan anjang kasih di sana
pada tanggal 10 Oktober 2018.
Sekolah yang
didirikan oleh Yayasan Dena-Upakara ini meneruskan karya misionaris
Belanda sejak tahun 1938 di Wonosobo. Sejak tahun 1996, yayasan ini telah
mengembangkan pendidikan untuk penyandang tunaganda meliputi tunarungu-netra,
tunarungu-low vision dan tunarungu-wicara dengan nama SLB/G-AB Helen Keller
Indonesia bertempat di Yogyakarta (http://www.slbhki-jogjakarta.com/tentang-kami).
Nama Helen
Keller sendiri diambil dari nama seseorang yang lahir normal tetapi pada usia 19 bulan
mengalami buta dan tuli dari Tuscumbia, Alabama, negara Bagian
Amerika pada 1880. Karena susah diajar
sampai meginjak usia 7 tahun, Helen Keller diajar oleh seorang guru privat yang
bernama Anne Sullivan. Dengan dorongan Anne dan semangat yang dimiliki, Hellen
menjadi orang tuna rungu dan tuna netra pertama yang lulus dari Universitas Radcliffe
College, cabang dari Universitas
Harvard khusus wanita (https://id.wikipedia.org/wiki/Helen_Keller). Semangat inilah yang ditumbuhkan
dan dibangun di SLB/G-AB Helen Keller.
Kunjungan ke
Helen Keller ini merupakan rangkaian studi sosial dengan tujuan mengenalkan
kehidupan yang berbeda jauh dari kehidupan mereka dengan fisik yang lengkap dan
kelimpahan materi. Program ini diharapkan membantu menumbuhkan kepekaan sosial
dan kepedulian siswa pada sesama. Ibu Rina selaku kepala sekolah Helen Keller
dengan semangat menjelaskan program dan kurikulum serta mengajak berkeliling
untuk melihat aktivitas dari siswa-siswi di sana yang berjumlah kurang lebih 33
anak. Diakui pihak sekolah bahwa mereka kekurangan tenaga pengajar. Suster
Yosefa salah satu guru di sekolah ini menyampaikan bahwa mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mengajari anak-anak, meskipun idealnya satu guru menghadapi
satu murid, namun karena guru mereka terbatas maka satu guru harus mengajari dua sampai tiga bahkan
empat orang anak.
Dalam
keterbatasan sekalipun mereka tetap nampak bahagia, bermain seperti anak-anak
lainnya, tertawa dan mereka menguasai huruf jari untuk berkomunikasi. Tentu
saja komunikasi ini mungkin kita sendiri belum tentu bisa. Jika mereka yang
memiliki keterbatasan saja tidak merasakan adanya penghalang untuk terus
berkarya, tentu saja bagi yang secara fisik sempurna harus terus terinspirasi berkarya
dan menjadi berkat bagi banyak orang. (SAP).
Komentar
Posting Komentar