Dari Lokal
Menuju Dunia
Eksposur Museum Batik Yogyakarta
Pelatihan Warisan Budaya:
Batik sebagai warisan budaya dan dunia dari Indonesia dengan tema ‘Dari Lokal
Menuju Dunia’ membuka kesempatan mahasiswa mendalami segala sesuatu yang
berkaitan dengan batik, dari sejarah, filosofi, motif, makna dan bahkan praktek
membatik. Hal ini penting, karena akan menjadi sebuah ironi
apabila generasi muda Indonesia tidak tahu tentang batik yang sudah diakui
dunia sebagai warisan budaya dari Indonesia.
Marianus Lejap,
koordinator pelatihan menjelaskan alur pelatihan dimana peserta akan mengenal
serba-serbi batik di museum Batik Yogyakarta, mendesain batik bermotif khas
daerah asal peserta, praktek membatik dan memunculkan ide bisnis berbasis
batik.
“Stube-HEMAT sebagai lembaga pendampingan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia yang kuliah di Yogyakarta memperlengkapi mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan sehingga mahasiswa memiliki ‘added value’ melalui program-program di dalamnya. Mahasiswa dari berbagai jurusan seperti teknik, ekonomi, ilmu pemerintahan, pendidikan dan teologia tidak saja mendalami ilmunya saja tetapi juga mengenal budaya lokal Yogyakarta seperti Batik dan diharapkan bisa membuat inovasi baru dengan muatan lokal daerah asalnya”, papar Ariani Narwastujati, direktur eksekutif Stube-HEMAT.
“Stube-HEMAT sebagai lembaga pendampingan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia yang kuliah di Yogyakarta memperlengkapi mahasiswa dengan pengetahuan dan keterampilan sehingga mahasiswa memiliki ‘added value’ melalui program-program di dalamnya. Mahasiswa dari berbagai jurusan seperti teknik, ekonomi, ilmu pemerintahan, pendidikan dan teologia tidak saja mendalami ilmunya saja tetapi juga mengenal budaya lokal Yogyakarta seperti Batik dan diharapkan bisa membuat inovasi baru dengan muatan lokal daerah asalnya”, papar Ariani Narwastujati, direktur eksekutif Stube-HEMAT.
Pada kesempatan kunjungan ke museum Batik Yogyakarta (1/12/2018), peserta dibagi menjadi dua kelompok
kecil untuk mengeksplor museum. Kelompok satu bersama ‘museum tour guide’ yang bernama Didik mengawali dengan belajar
sejarah museum yang dirintis keluarga Hadi Nugroho bersama Dewi Sukaningsih,
istrinya. Pemandu mengungkapkan kegelisahan yang
dirasakan oleh perintis
terhadap kelestarian batik karena lembaran batik berkualitas dipotong-potong
demi membuat baju tanpa memikirkan maknanya. Selanjutnya peserta mengamati
perlengkapan membatik seperti canting, pemanas, malam, pewarna, stempel motif
dan tahapan membatik dari ‘ngeblat’ (menggambar) motif sampai ‘nglorot’
(melunturkan) lilin. Jenis-jenis batik motif khas Kraton terpajang di situ
seperti Sidomukti, Parang, dan Kawung. Motif-motif lainnya adalah Udan Liris, Truntum,
dan Pisang Bali. Di ruang pamer ada batik motif bledak, batik yang dibuat untuk
masyarakat awam dengan motif bernuansa alam seperti dedaunan, hewan dan alam di
sekitar manusia. Beberapa peserta ingin tahu motif mana yang cocok untuk anak
muda. Didik menyebutkan antara lain Grompol
dan Madubronto.
Kelompok dua
mengawali kunjungan dengan mempelajari batik pesisiran bersama
pemandu yang bernama Reni
yang menjelaskan
bahwa batik jenis ini
berkembang di kawasan pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Pekalongan, Semarang,
Jepara dan Lasem. Motif batik pesisiran mendapat pengaruh dari Cina, Gujarat,
Arab, Eropa dan Jepang sehingga motifnya variatif dan berwarna-warni,
seperti batik Pekalongan
yang dikenal kaya warna,
batik Lasem yang
khas dengan warna merah
darah dan batik tiga negeri, yang dibuat di tiga tempat berbeda, Surakarta,
Lasem dan Pekalongan. Tak kalah menarik kisah di balik Batik pagi sore memiliki cerita ketika
jaman Jepang harga kain sangat mahal yang menimbulkan ide desain
batik yang memiliki dua
wajah dalam selembar kain, sehingga bisa dipakai bergantian pagi dan sore. Ada peserta
yang tertarik dengan batik berwarna biru putih yang terlihat
anggun, tapi setelah
dijelaskan ternyata
batik tersebut dipakai saat berduka. Tak hanya kain batik, berbagai model baju
peranakan, kebaya dan porselen melengkapi pembelajaran hari itu.
Usai mengamati beragam koleksi
museum peserta membagikan pengalaman baru mereka. Sarlota Wantaar dari Maluku
Tenggara, studi Pendidikan Fisika di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
(UST) mengungkapkan bahwa dirinya baru mengetahui sejarah batik dan memahami
bahwa kain batik
memiliki pesan-pesan tertentu. Florida da Silva dari Atambua, juga studi di UST mengatakan kalau kunjungan ini mengingatkan
dirinya pada masa kecil ketika neneknya mengajak menenun dan mencintai budaya
lokal. “Setelah belajar di sini saya jadi tahu kalau pakai baju bermotif batik jangan
asal cantik atau asal ganteng saja, karena saat memakainya harus tahu arti dan tujuan
motif batik tersebut”, ungkap Florida.
Di akhir kunjungan, koordinator
Stube-HEMAT Yogyakarta, Trustha
mendorong peserta merancang batik motif khas daerah masing-masing dan
memikirkan maknanya. Beberapa
gagasan yang muncul antara lain, motif bunga Jeumpa oleh Sinar Silalahi, dari
Aceh yang kuliah di UKDW, Redy Hartanto, mahasiswa teologia STAK Marturia
menyiapkan motif khas Lampung, Siger dan gajah. Selama satu minggu peserta akan
merancang desain dan Sabtu, 8/12/2018 peserta akan membatik desain tersebut.
Selamat berimajinasi dan menuangkan ide dalam lembaran kain menjadi batik khas
daerah. (TRU).
Komentar
Posting Komentar