Mengagumi Batik
Mencintai Lingkungan
Menjadi perenungan bersama saat
melihat keindahan kain batik yang diproses dalam sebuah rangkaian panjang.
Tentu saja hal ini membawa konsekuensi pada kualitas dan harga. Harga yang
terjangkau bagi konsumen dan membawa keuntungan kepada produsen, tentu saja
menjadi keinginan bersama. Sekalipun sudah ada alternatif pewarnaan
alami, di dalam dunia bisnis keuntungan masih menjadi prioritas dan pewarna sintetis yang jauh lebih murah dan terjangkau masih menjadi pilihan. Sebab jika produk pewarna
alami yang diproses modern dijual bebas, maka perbandingan harga akan sangat jauh lebih tinggi. Terlebih lagi,
proses pewarnaan alami memerlukan beberapa kali pencelupan untuk mendapatkan warna
sesuai permintaan.
Sejauh mana para pengrajin batik
mengelola limbah hasil pewarnaan dan proses melorot malam? Bukan rahasia
apabila para pengrajin batik mewarnai dengan bahan sintesis dan salah satunya
naptol. Naptol adalah senyawa kimia
dengan rumus : C10H8O; massa
molar: 144,17 g/mol; kelarutan dalam air: 0,74 kg/m³; titik didih: 285°C;
kepadatan: 1,22 g/cm³; ID ChEBI: 10432. Bahan ini termasuk kedalam limbah B3. Limbah
B3 kepanjangan dari Bahan Beracun dan Berbahaya sangat membahayakan kesehatan
manusia, hewan dan lingkungan. Naptol bisa
mengakibatkan organisme dalam air mati karena bahan ini bisa mengubah
nilai biochemical oxygen demand (BOD)
dan chemical oxygen demand (COD)
dalam air. Untuk itu limbah cair atau padat yang mengandung B3 selalu
membutuhkan penanganan khusus supaya terurai sempurna dan tidak mencemari lingkungan. Menurut Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 3 ayat (1), Setiap orang yang menghasilkan
Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya.
World Batik Summit 2011 di Jakarta
menghasilkan sebuah deklarasi bersama, pada point No. 5 yang
menyatakan industri batik Indonesia
harus didasarkan atas perlindungan alam dan lingkungan, serta riset mengenai
penyediaan bahan pewarna tradisional yang alami dalam jumlah besar penting
untuk digalakkan (http://www.mongabay.co.id/2012/12/28/ayo-kini-saatnya-berbatik-ramah-lingkungan/).
Dr. Ir.Edia Rahayuningsih, M.S, seorang
dosen dan peneliti Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada sudah sejak lama meneliti tanaman indigofera
sebagai bahan pewarna pengganti naptol dan hasil penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa marga indigofera bisa digunakan sebagai pengganti warna biru (https://ugm.ac.id/id/berita/7678-edia:.kurangi.pencemaran.hidupkan.kembali.pewarna.alam). Warna biru dari serbuk yang
dihasilkan memiliki kadar hingga 40 persen, sementara warna biru dari proses biasa
kadarnya hanya 15 persen. Bahkan melalui proses yang dikembangkan, hanya
memerlukan 3-6 kali pencelupan ((https://ugm.ac.id/id/berita/7678-edia:.kurangi.pencemaran.hidupkan.kembali.pewarna.alami.
Memberi pengetahuan kepada pengrajin batik atas pemeliharaan lingkungan sekaligus
pemakaian alat pelindung
diri (APD) saat melakukan proses
pewarnaan merupakan hal
yang sangat penting, supaya tidak terpapar bahan kimia terlalu dekat. Jika sering bersentuhan dengan bahan kimia apalagi
tergolong B3 dapat menyebabkan berbagai macam penyakit di kemudian hari seperti kanker kulit.
Mari bersama menghargai
produk batik dan kain tradisional yang dihasilkan dari proses yang panjang
sebab untuk mendapatkan sepotong kain batik yang cantik, lingkungan menjadi taruhannya. Mari mengagumi batik dengan tetap mencintai
lingkungan. *SAP
Komentar
Posting Komentar