Bergereja Vs Berwisata
Bergereja versus berwisata menjadi tantangan tersendiri baik
bagi umat maupun para pemimpin umat. Terlebih bagi jemaat di tempat-tempat yang
dipakai sebagai destinasi wisata. Hal ini menjadi pergumulan panjang dan
berkelanjutan di beberapa desa di Kabupaten Raja
Ampat. Salah satunya adalah Distrik Kepulauan Sembilan, Jemaat GKI Effata Wejim, Kabupaten Raja Ampat,
Papua Barat.
“Setiap hari minggu
anak muda tidak antusias ke gereja, bahkan bunyi lonceng
gereja terdengar tidak merdu lagi bahkan tidak dirindukan. Anak muda lebih memilih menemani turis yang akan menginap
di resort dan membutuhkan jasanya. Tempat ibadah banyak
yang kosong dan tidak terjadi pertumbuhan
rohani karena
setiap hari Minggu
semua orang sibuk untuk menyambut tamu yang akan berwisata.
Lalu
apa yang akan terjadi dengan nasib
jemaat, pemuda dan bahkan masa depan gereja tersebut?”
Viktor, salah satu mahasiswa di
Yogyakarta yang berasal dari Distrik Kepulauan Sembilan mengungkapkan
kegundahannya.
Kabupaten Raja Ampat merupakan
resort yang memiliki pesona bawah laut yang luar
biasa dan selalu ramai dikunjungi turis lokal maupun manca negara. Pesona
laut dengan gugusan pulaunya sungguh menakjubkan. Ada gugusan karst yang
membentang juga laguna laut berbentuk bintang. Sungguh pemandangan alam yang
indah layaknya di surga.
Diskusi gereja dan politik yang
dilakukan beberapa mahasiswa (9/3/2019) mengambil bacaan yang
berjudul “Jika Semak Duri Menjadi Raja” yang diambil dari Hakim-hakim 9:8-15, berjalan sangat hidup karena semua peserta berbagi
pengalaman bergereja dari daerah asal. Anis
Bame, mahasiswa Universitas Janabadra asal Maybrat, Papua memimpin diskusi
dengan hangat. Ada begitu banyak
masalah yang terjadi didalam kehidupan bergereja. “Selain masalah pemuda yang tidak tertarik lagi untuk
beribadah, juga kasus yang sering terjadi adalah pastor dan pendeta terjun kedalam dunia
politik praktis, sehingga terjadi tumpang
tindih kepentingan. Menjadi
perdebatan sengit ketika seorang
pendeta atau pastor tetap melayani jemaat sebagai seorang pendeta dan pastor sementara
menjabat sebagai anggota
legislatif. Hal ini membuat jemaat merasa
tidak nyaman”, tutur Giovani,
Ketua Umum Ikatan Pelajar Mahasiwa Raja Ampat.
“Sampai saat ini belum ada kejelasan di
GKI di Tanah Papua, apakah seorang
pendeta atau pastor bisa menjabat di legislatif dan
tetap melayani jemaat ataukah harus memilih untuk melepaskan salah satu”,
tanyanya. Sarloce tim
kerja Stube HEMAT dan Kifli Senen, mahasiswa dari Halmahera menginformasikan kalau di GMIH sudah ada peraturan
bahwa pendeta yang
mencalonkan diri menjadi anggota
legislatif harus meletakkan jabatan rohaninya. “Kita semua punya kemampuan bekerja sama untuk bisa mewujudkan keharmonisan dalam
bergereja dan berpolitik dengan memisahkan
institusi Gereja dan politik,
tetapi dalam prakteknya gereja tetap
harus menyuarakan suara kenabian yang berkaitan dengan ketidakadilan atau
kemiskinan yang semua itu berkaitan dengan ranah politik”, tutur Sarloce.
Dalam kasus bergereja vs berwisata ini sangat berkaitan dengan kekurangan lapangan pekerjaan yang
memicu banyak pemuda lebih memilih kerja
di hari Minggu
dan tidak ke gereja. Bisa jadi karena pendeta dan pastor sudah tidak lagi berkhotbah tentang kesejahteraan, kemiskinan, dan persoalan sosial budaya dan ekonomi, karena mereka
sudah masuk kedalam sistem kekuasaan.
Menjadi pergumulan bersama untuk melawan kemapanan yang
tidak mendengarkan pergumulan ketidakadilan dan kemiskinan masyarakat. (SAP).
Komentar
Posting Komentar