Memahami Politik Versi Milennial
Follow Up PMKRI dan Mercu Buana
Kesadaran maupun partisipasi generasi milenial
agar melek politik harus terus dikampanyekan. Momentum kali ini dimanfaatkan oleh kelompok follow up
bernama “Milenial produktif” yang beranggotakan
Rusli, Riki, Marina, dan Grace untuk
mengkampanyekan bagaimana milenial yang melek politik. Berbekal pengetahuan yang diperoleh saat
pelatihan Gereja dan Politik, mereka
menyebarluaskan pengetahuan dan hal baru yang didapat kepada teman-teman
mahasiswa lainya. Bertempat di Nemo kafe Nologaten (23/03/2019) mulai dari pukul 20.45 WIB, 10 orang mahasiswa asal NTT ikut ambil bagian dalam diskusi
kecil ini.
Mariano Lejap Tim Stube-HEMAT Yogyakarta sebagai pendamping kelompok, menjelaskan maksud dan latar
belakang kegiatan diskusi ini. Lebih lanjut, Lejap memperkenalkan Lembaga Stube-HEMAT, sebuah lembaga pemberdayaan mahasiswa dengan mengadakan
pembekalan melalui program-program pelatihan.
Berbagai tema diangkat Stube agar memperkaya pengalaman dan wawasan mahasiswa.
Dalam diskusi ini ada 2 topik besar yaitu milenial dan
partisipasi dalam politik, serta
hubungan gereja dan situasi politik daerah. Marina, mahasiswa komunikasi Universitas Mercubuana Yogyakarta memandu diskusi dan semua peserta terlibat aktif berbagi pengalaman tentang anak muda di ruang publik daerah
masing-masing, serta pengalaman melihat hubungan gereja dan politik. Riki
mengawali dengan pemahaman milenial
dan partisipasinya dalam politik saat ini. Masihkah relevan
dengan anak muda yang dimaksud Soekarno waktu dulu? “Milenial sekarang cendrung lebih instan untuk melakukan berbagai hal, contoh ketika mereka ingin terlibat dalam ruang publik, mereka memakai aplikasi online seperti kitabisa.com
untuk menggalang dana bagi korban
bencana atau membangun sebuah sekolah. Mereka meninggalkan pola lama
yang berciri procedural rumit”,
ungkap Mariano.
Dalam sesi gereja dan politik, Rusli, mahasiswa pertanian UST, selaku pemantik mengutarakan
jika ada kebijakan daerah dan masyarakat menolak karena
tidak pro rakyat, apakah gereja terlibat? Apakah gereja perlu terlibat politik?
Grace, peserta asal Atambua NTT, bercerita bahwa di daerahnya pernah ada pastor yang berkotbah menyarankan jemaat memilih pemimpin yang terlibat aktif di gereja
dan jangan pilih yang tidak aktif. Menilai
pemimpin tidak hanya dari keaktifan di gereja tetapi juga dari rekam jejak pengalaman
dan prestasi. Tokoh agama
harusnya tidak terlibat dalam politik praktis. Yodi,
mahasiswa manajemen Sanata Dharma berpendapat
berbeda, gereja harus terlibat politik hanya
saja pada batasan tertentu, karena
menurutnya Paus saja memimpin gereja dan juga mengurusi administrasi di
Vatikan. “Jika gereja ingin terlibat dalam
politik praktis, lebih baik melalui kita-kita
sebagai umat. Kita juga sebagai generasi yang
harus terlibat di gereja agar terlibat dalam
penentuan kebijakan di gereja”, lanjutnya.
Sebagai
penutup, para peserta diskusi berkesimpulan bahwa generasi millennial harus peduli
politik dengan berpartisipasi sesuai potensi millenialnya yang identik dengan
teknologi informasi. [ML]
Komentar
Posting Komentar