Menulis dan Mengungkap
Kegelisahan
Aktivitas menulis
mengiringi kehidupan seseorang dilihat dari aktivitas menulis yang berwujud status
dan komentar di media sosial, pesan pendek, tugas kuliah dan skripsi. Namun ada
juga yang tidak menulis apa pun ke publik karena alasan kurang percaya diri,
belum terbiasa dan takut. Perlu dipahami bahwa tulisan yang berkualitas datang
dari latihan dan pantang menyerah. Untuk itu Stube-HEMAT Yogyakarta bekerjasama
dengan team S2 Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada mengadakan Workshop Menulis
Fiksi (Rabu, 1/5/2019) di sekretariat Stube-HEMAT Yogyakarta.

Achmad Munjid, M.A., Ph.D.,
dosen S2 Ilmu Budaya UGM dan fasilitator workshop merasa senang bekerjasama
dengan Stube-HEMAT Yogyakarta karena bisa berinteraksi dengan mahasiswa yang
berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Ia memulai workshop dengan pertanyaan:
“Jika seseorang kursus berenang dan pelatihnya hanya memberi buku teori
berenang, apakah ia mampu berenang saat ‘nyemplung’ ke kolam? Belum tentu. Ia
harus praktek bagaimana berenang, menggerakkan tangan, kaki dan pernafasan.
Sama dengan menulis, teori tidak cukup. Ia harus menulis dan terus mengasah
keterampilan menulisnya.”
Ada berbagai jenis
tulisan dan salah satunya adalah fiksi, karya sastra yang
berisi cerita rekaan atau imajinasi dan bukan kejadian nyata. Meski imajinasi, penulis
fiksi harus mengolah tulisannya agar menarik dan pembaca terkesan dengan
tulisan fiksinya. Ia perlu menyadari bahwa tulisan fiksi sebenarnya ungkapan pikiran penulis
karena ada konflik yang membuatnya gelisah. Kemudian, ia harus menentukan plot
atau alur cerita dari konflik, krisis dan penyelesaian yang memuat 3D, yaitu
Drama (menarik perhatian), Desire (hasrat atau antusiasme) dan Danger (bahaya atau tantangan) sehingga pembaca
tertarik untuk membaca sampai selesai. Bagian penting lain adalah mendeskripsikan
tempat, tokoh, peristiwa atau sesuatu secara spesifik dan nyata yang membuat pembaca
merasa ‘seolah-olah’ masuk dalam cerita dan berjumpa langsung dengan tokohnya.
Penulis tidak bisa mengatakan ‘makanan ini enak’ karena enak itu relatif. Jadi penulis
harus ‘menceritakan’ makanan tersebut, apa saja bahannya, bagaimana tampilan,
rasa dan aroma bumbunya. Jika pembaca sampai merasa seperti ‘mencecap’ makanan
itu artinya penulis berhasil.
Sebagai latihan, peserta
diminta mengamati lukisan dan mendeskripsikan dengan kata-kata dan mencoba
‘masuk’ ke dalam perasaan pembaca. Narasumber mengungkapkan bahwa menulis itu
seperti seseorang yang menggali sumur dengan sebatang jarum, menggali tanah
dengan perlahan. Sama halnya menulis yang merangkai huruf demi huruf, kata demi
kata dan kalimat demi kalimat akhirnya menjadi satu tulisan utuh.

Karena ini adalah tahap
awal menulis fiksi dan masih proses belajar, perlu segera menulis dan terus melatih
diri. Jadi, mulailah menulis, ungkapkan segala sesuatu yang menggelisahkan
hatimu! (TRU).
Topik yang sangat penting untuk generasi saat ini.
BalasHapus