Menggali Potensi Lokal
Untuk Desain Batik Waropen
Keinginan untuk mandiri sebagai
wirausahawan menjadi titik temu antara Stube-HEMAT, sebagai lembaga
pengembangan sumber daya manusia dengan Dinas Pemuda dan Olahraga kebupaten
Waropen, Papua yang mengutus para pemudanya untuk belajar membatik dan usaha produktif
berbasis batik di Yogyakarta dari tanggal 2-4 Juli 2019. Pertemuan dua lembaga
ini tidak luput dari peran Roni Kayai yang pernah mengikuti pelatihan Stube-HEMAT Yogyakarta saat masih studi di kota ini sekitar tahun 2006.
Jarak tempuh dan
perjalanan panjang yang lebih dari 24 jam menuju Yogyakarta tidak menyurutkan
hasrat mereka. “Kami ingin belajar membatik di Yogyakarta dan memiliki pengetahuan
kewirausahaan sehingga para pemuda kami nantinya mandiri dan mengembangkan wirausaha
di daerah”, ungkap Enos Refasi, S.Sos, Kepala Bidang Pemuda Dinas Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Waropen dalam sesi pembukaan pelatihan.

Peserta mengawali
eksposur dengan mengunjungi Museum Batik Yogyakarta, Jl. Dr. Sutomo 13 A,
Bausasran. Dengan penuh perhatian, mereka menyimak penjelasan petugas museum
tentang perkembangan batik di Yogyakarta, Surakarta maupun di pesisir utara
Jawa yang mendapat pengaruh dari bangsa-bangsa lain. Awalnya batik digunakan
hanya oleh kalangan tertentu namun saat ini masyarakat umum bisa memakainya.
Mereka juga mengamati motif-motif batik yang menyiratkan pesan tersembunyi atau
doa dari pembuatnya dan penggunaan batik dengan tepat antara motif dengan momen
yang ada, seperti motif Sidoasih
dikenakan saat pernikahan, dan motif Gringsing
dipakai ketika sakit.
Membekali mereka dengan
gambaran potensi lokal yang bisa diangkat menjadi motif batik, Stube-HEMAT
membawa peserta mengunjungi sanggar batik ‘Manggala’ di Kulonprogo. Pak Surasa,
sang pemilik, menyambut dan mengungkapkan rasa senang mendapat kunjungan pemuda-pemudi
Waropen. Ia mengajak mereka mengamati berbagai koleksi batik, motif Gebleg renteng khas Kulonprogo, motif
abstrak dan motif-motif dengan figur tertentu, proses mencanting, membuat pola,
dan meluruhkan malam. “Kami mengembangkan batik tulis dan cap karena kami ingin
masyarakat dari berbagai kalangan bisa memakai batik asli. Aneh rasanya kalau
kita memiliki warisan batik tetapi tidak bisa membeli karena harganya mahal. Jadi,
kami melakukan inovasi untuk menekan biaya produksi sehingga harga terjangkau.
Selain itu, kami memasarkan batik sampai di luar Jawa, seperti Kalimantan,
Sulawesi dan bahkan Papua Barat”, ungkapnya.
Kampung Batik Giriloyo,
yang telah lama dikenal sebagai sentra batik tulis tradisional menjadi tempat
belajar berikutnya. Said Romli (Divisi pemasaran paguyuban) dan Isnaini
Muhtarom (Ketua Paguyuban Batik Giriloyo, juga kepala dusun setempat) menyambut
para peserta dan menyampaikan pengantar, “Sentra batik Giriloyo ini menjadi
sandaran hidup ribuan masyarakat. Paguyuban ini menaungi belasan sanggar batik di
Giriloyo agar mereka memiliki daya saing di pasaran dan galeri ini menjadi showroom untuk memajang koleksi batik
yang sebagian besar menggunakan pewarna alami”, jelasnya. Saat praktek membatik
peserta nampak canggung dalam menorehkan lilin, namun perlahan mereka bisa
melakukan meski tetesan lilin mengenai kain. Ini hal wajar karena baru pertama
kali praktek membatik. Langkah terakhir adalah pewarnaan dan meluruhkan lilin/malam,
dan akhirnya jadilah karya pertama mereka.




Pengalaman-pengalaman selama di
Yogyakarta ini membekali peserta mendapatkan ide mendesain motif khas daerah
Waropen. Muncullah beberapa motif batik berisi ornamen khas Waropen di hari
terakhir sebelum kepulangan mereka ke Papua.
Pemuda identik dengan semangat
untuk belajar hal baru. Kiranya ini menjadi bekal mereka untuk berkembang, mandiri dan berkontribusi memajukan
daerah. (TRU).
Komentar
Posting Komentar