Faramaw
re Fatenow Farumi
Kalimat Pemersatu
Desa Buli adalah ibu
kota kecamatan Maba. Kecamatan Maba memiliki luas 408,50 km2 (6% dari keseluruhan Halmahera Timur), berjarak
sekitar 46,66 km dari ibukota kabupaten Halmahera Timur. Kecamtan Maba terdiri dari
10 desa yakni Buli, Buli Asal, Buli Karya, Wayafli, Geltoli, Sailal, Pekaulang,
Teluk Buli, Gamesan dan Baburino. Tiga nama yang disebutkan terakhir merupakan
desa yang baru dimekarkan pada akhir 2012 (https://haltimkab.go.id/kecamatan-maba/).
Secara administratif ibu kota kecamatan berada di Desa Buli, tetapi secara tatanan dan adat semuanya terpusat di Buli Asal. Hal ini dapat kita lihat dari gaya hidup dan juga cara masyarakat Buli Asal mengadakan acara pernikahan yang masih menggunakan adat Buli dan setiap keluarga pasti diajar untuk berbahasa Buli. Berangkat dari cara menghargai budaya dan cara melestarikannya secara turun temurun, ada cerita menarik tentang kearifan lokal yang masih terus dijaga. Salah satunya adalah kearifan lokal dalam mempersatukan semua suku yang yang tinggal di Kecamatan Maba.
Secara administratif ibu kota kecamatan berada di Desa Buli, tetapi secara tatanan dan adat semuanya terpusat di Buli Asal. Hal ini dapat kita lihat dari gaya hidup dan juga cara masyarakat Buli Asal mengadakan acara pernikahan yang masih menggunakan adat Buli dan setiap keluarga pasti diajar untuk berbahasa Buli. Berangkat dari cara menghargai budaya dan cara melestarikannya secara turun temurun, ada cerita menarik tentang kearifan lokal yang masih terus dijaga. Salah satunya adalah kearifan lokal dalam mempersatukan semua suku yang yang tinggal di Kecamatan Maba.
Selain suku Asli Buli
yang beragama Kristen dan Islam terdapa juga beberapa suku pendatang,
diantaranya Maba, Bugis, Sangir, Tobelo, Toraja, Jawa dan beberapa pendatang
dari wilayah Halmahera lainnya. Selain itu agama terbesar adalah Kristen dan
Islam yang masih mendominasi di wilayah ini. Buli adalah lumbung tambang nikel,
emas dan tembaga. Sejak 1997 perusahan pemboran Geomin sudah masuk ke wilayah
ini dan berkantor di Desa Buli (sekarang desa Geltoly; yang berarti
persimpangan). Selain perusahan tambang, di Buli juga terdapat kantor Pos dan
beberapa perusahaan ekpedisi seperti JNE dan Lion Parcel untuk menunjang infrastruktur jual beli online. Kantor Kapolres Halmahera Timur pun masih tetap
berada di Desa Buli bukan di ibu kota kabupaten. Selain itu sekarang ini sudah
terdapat 1 stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), beberapa toko pakaian dan
pasar ikan dan sayur mayur untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Situasi Buli saat ini
tidak lepas dari usaha para leluhur terutama tetua-tetua adat Buli yang terus
berjuang menggiatkan pemahaman filosofi hidup rukun dan saling menghargai. Pada
tahun 1998–2000 ada kerusuhan besar di Poso, Maluku dan Halmahera. Kerusuhan tersebut memakan banyak korban jiwa, harta benda,
sanak saudara dan memutuskan rantai persaudaraan di antara kakak adik dan
saudara.
Awal masalah yang
tersebar adalah masalah perbatasan dua desa yaitu Kao dan Malifut. Dari masalah
tapal batas berubah menjadi sebuah kerusuhan yang merenggut nyawa banyak orang
yang tidak berdosa. Kerusuhan terjadi hampir di seantero Halmahera dari Utara
sampai Selatan tetapi tidak terjadi di Buli. Berdasarkan beberapa literatur,
kerusuhan pecah pada Januari tahun 1999 sampai penandatanganan Piagam Malino II tanggal 13 Februari 2002
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Kepulauan_Maluku
) dimana situasi mulai terkendali.
Wilayah Buli bisa
bertahan dan tidak terjadi kerusuhan sama sekali dikarenakan adanya semboyan kearifan
lokal “Faramaw re Fatenow Farumi” yang berarti “Saudara bersaudara”, “Kita
Semua Bersaudara” yang didengungkan oleh
tetua adat di wilayah Buli. Semboyan tersebut sampai saat ini menjadi pemersatu
dan terus dihidupi oleh semua masyarakat di wilayah Buli. Karena semboyan
itulah membuat wilayah Buli atau kecamatan Maba aman dari kerusuhan 1999/2000.
Semboyan ini selalu diucapkan pada saat membuka pidato pada acara-acara besar
di kampung. Bahasa pemersatu ini terbukti bisa menyatukan semua suku, agama dan
aliran yang tinggal dan menetap di Buli. Di desa Buli Asal, setiap acara resmi
seperti pernikahan atau lepas sambut pendeta baru, kalimat di atas masih terus
diucapkan sebagai kalimat pembuka.
Terlebih lagi jika
akan bergotong-royong membangun gereja, pastori atau fasilitas umum lainnya,
kalimat tersebut seperti kunci yang dapat membuka hati setiap orang untuk
terlibat membantu atau bekerjasama. Kearifan lokal harus terus kita jaga dan
hidupi karena saat ini dan dimasa depan
kita akan terus hidup saling berdampingan dan bersatu walaupun kita berbeda
agama, suku dan ras. (SAP)
Komentar
Posting Komentar