Sandinganeng
“Sekawan”
Setiap
daerah memiliki kearifan lokal yang membuat daerah tersebut unik dan punya daya
tarik. Kearifan lokal terdiri dari berbagai macam seperti makanan khas, kalimat
bijak, peninggalan budaya, pesan moral, etika dan masih banyak lagi.
Kearifan
lokal ini juga dapat kita jumpai di salah satu suku pendatang di desa Puao.
Desa Puao adalah salah satu desa di kecamatan
Wasile Tengah di wilayah Kabupaten Halmahera Timur. Desa ini berpenduduk 635
jiwa dengan luas kawasan 474,90 KM. Desa ini didiami suku asli yaitu Tobelo dan
suku pendatang seperti Sangihe, Buto, Makasar, Jawa dan Manado. Mayoritas
masyarakat yang tinggal di desa ini beragama Kristen protestan dan beberapa Muslim.
Kehidupan keseharian masyarakat di sini adalah nelayan dan petani.
Kebanyakan
mereka menggeluti kedua pekerjaan itu disesuaikan dengan musimnya. Suku Sangihe adalah salah satu suku pendatang (1973) dari
Sulawesi Utara dari Pualu Sangihe (Sangir) yang bisa dibilang sukses dalam
melakukan pendekatan sehingga mereka bahkan diberi tanah untuk membangun rumah
dan lahan untuk perkebunan. Seiring perkembangan zaman, mereka membangun
kampung dan pada tahun 2007 dimekarkan menjadi desa Silalayang.
Menariknya
saat mereka masuk ke wilayah Halmahera khususnya di Desa Puao mereka membawah
semboyan “sandinganeng” yang berarti “sekawan”, “sekelompok”, atau berkawan”.
Semboyan itu membuat masyarakat asli desa Puao membuka tangan dan menerima
mereka dengan ramah. Semboyan sandinganeng
juga membuat suku Sangihe bisa bertahan
tinggal di daerah yang baru tanpa merasa takut dan khawatir sebab sedari awal
mereka sudah menghidupi semboyan tersebut.
Semboyan
itu dapat kita lihat dari etos kerja dari suku Sangihe yang merantau ke tanah
Halmahera. Mereka pekerja keras dan selalu berusaha membantu orang sekitar
mereka. Hal ini dapat kita jumpai jika berkunjung ke wilayah Halmahera. Selain
itu ketrampilan membuat perahu dan juga kepandaian melaut suku Sangihe tidak
diragukan lagi.
Sampai
saat ini semboyan tersebut masih melekat
kuat pada suku Sangihe yang berada di desa Silalayang. Semboyang ini dihidupi
dengan tidak pernah membuat masalah dengan suku asli daerah setempat.
Sebaliknya suku asli yang sering membuat masalah dengan suku Sangihe, seperti
anak muda suku asli sering membuat keributan di desa Silalayang, tetapi suku Sangihe
tidak menanggapi atau dendam terhadap
suku mereka.
Semboyan
sandinganeng juga dapat kita lihat di
desa Silalayag yang saat ini banyak didatangi orang luar daerah seperti, Filipina,
Manado, Jawa, Buton, Talaut, Makasar dan beberapa suku Tobelo yang juga tinggal
dan menetap di desa ini. Menariknya suku Sangihe tidak pernah membuat keributan
malahan mereka hidup rukun. Sampai saat ini suku Sangihe pun masih menggunakan percakapan
sehari-hari bahasa Sangihe (Sangir).
Suku Sangihe yang dulunya pendatang sekarang sudah menjadi masayarakat asli Halmahera dan ikut memberi sumbangsih pemikiran ide dan gagasan dalam menunjang kemajuan desa Silalayang. Keterlibatan suku Sangihe dan pendatang di desa Silalayang dapat dilihat dari terpilihnya kepala desa dari suku Manado campuran Sangihe Bapak Robles Makatika. Seorang kepala desa muda yang visioner dan menjadi panutan bagi anak muda saat ini dengan capaian kemajuan desa Silalayang saat ini dari segi pembangunan infastruktur desa mulai dari kantor desa yang dulunya tidak ada, sekarang ada dan mendapatkan predikat kator terbaik dan paling rapi, ada pasar yang menjual pakaian, sayur mayur dan juga ikan segar. Selain itu dibangun juga dermaga sebagai tempat bersandar perahu nelayan, taxi laut dan juga menjadi tempat spot berswafoto populer di kawasan kecamatan Wasile Tengah.
Desa
ini menjadi contoh bagi semua desa di kecamatan Wasile Tengah sebagai desa baru
yang berkembang pesat dilihat dari pembangunan infrastruktur yang memadai dan
menunjang perekonomian masyarakat. Semboyan sandinganeng bukan hanya sebuah kalimat tetapi benar-benar dihidupi
dan terus dijaga sampai hari ini. (ERI)
Komentar
Posting Komentar