Per Angusta Ad Augusta
‘Per Angusta Ad Augusta’ sebuah
istilah Latin yang berarti ‘Dari Kesulitan Menuju Kemuliaan’. Kata-kata ini
mendorong seseorang untuk tekun saat ‘masa sulit’ dengan tetap optimis sampai akhirnya
berhasil. Kegagalan tak bisa lepas dari kehidupan manusia, tetapi bagaimana
cara seseorang merespon kegagalan secara kontruktif tanpa kehilangan sikap baik
itulah yang penting, dan yang terutama adalah bagaimana ia belajar dari
kegagalan dan menemukan energi untuk memulai yang baru.
Sebagai
lembaga pendampingan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia yang sedang
studi di Yogyakarta, Stube HEMAT memahami bahwa mahasiswa yang merantau untuk
kuliah di kota ini, membawa beban tersendiri di pundak mereka. Harapan-harapan
keberhasilan baik dari diri sendiri dan keluarga, juga sanak-saudara dan
masyarakat setempat menjadi salah satunya. Sementara di perantauan, mereka
menghadapi persaingan, tantangan, kompleksitas, tuntutan standar tinggi sumber
daya manusia dan perubahan yang bisa menghalangi terwujudnya harapan keberhasilan
tersebut. Banyak kasus menyedihkan terjadi di tengah-tengah proses mewujudkan
harapan tersebut seperti depresi bahkan bunuh diri. Melalui pelatihan Belajar
dari Kegagalan dengan judul ‘Per Angusta Ad Augusta’ di Villa Taman Eden 1,
Kaliurang, 18-20 Oktober 2019, Stube-HEMAT mengundang mahasiswa membangun
optimisme untuk menghadapi segala tantangan terlebih menyikapi kegagalan.
Pdt. Bambang Sumbodo,
M.Min, board Stube-HEMAT, membuka pelatihan dengan mengajak mahasiswa bersikap
dalam membuat keputusan. Mengambil keputusan tidaklah mudah. Ada beberapa tipe dalam
pengambilan keputusan, yaitu, pertama,
asal memilih yang penting ia aman; kedua,
mempertimbangkan untung rugi keputusan itu, pilihan yang menguntungkan akan
diambil; ketiga, mempertimbangkan
motivasi dari keputusan yang diambil dilandasi oleh motivasi yang benar. Nelson
Mandela menjadi salah satu contoh pengambil keputusan yang dilandasi motivasi
yang benar, meski dia harus menanggung 27 tahun hukuman penjara karena
perjuangan anti ras dan diskriminasi di Afrika Selatan yang dia lakukan.
Upaya memaknai kegagalan
dalam perspektif Kristen bersama Pdt. Dr. Jozef MN. Hehanussa menggugah
antusiasme peserta untuk bertanya-tanya apakah Allah juga pernah gagal?
Beberapa kisah tokoh di Alkitab seperti Adam dan Hawa yang gagal memegang
perintah Allah dengan makan buah pengetahuan baik dan buruk, Musa gagal tidak
masuk ke tanah perjanjian, Petrus menyangkal Yesus dan Yudas berkhianat,
menjadi contoh kongkrit kegagalan. Jika manusia mengalami kegagalan, apakah artinya
Tuhan juga gagal dalam menyertai manusia? Perdebatan dan diskusi yang seru
mewarnai sesi ini. Kalau benar Tuhan gagal, apa yang akan dilakukan? Pergi dan
berpaling meninggalkanNya? Kisah
Sadrakh, Mesakh dan Abednego di kitab Daniel 3: 17-18, “Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan
melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu,
ya raja; tetapi seandainya tidak,
hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku,
dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu”, menjawab
bagaimana harus bersikap saat rencana Tuhan tidak seturut keinginan manusia,
yakni tetap setia. Rencana Tuhan tidak pernah gagal, hanya ketidakmampuan
manusia memahami itulah yang membuat seolah Allah gagal dan tidak adil. Sungguh
sesi ini memberi wawasan dan penguatan kepada peserta dalam menghadapi
kegagalan.
Pendekatan psikologi bersama Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si, membantu para peserta mendalami pribadi mereka melalui gambar-gambar yang mereka buat sebelumnya. Tak hanya itu, peserta juga mengisi kuisioner untuk mengungkap karakter dan kecenderungan diri, yang nantinya bisa dikembangkan guna menyelesaikan kuliah dan masuk dunia kerja. Tak sedikit dari peserta mengakui kecocokan situasi diri yang ‘terbaca’ melalui gambar dan menerima saran-saran untuk dikembangkan.
Memahami
penyebab dan konteks kegagalan akan membantu orang menghindari kegagalan
selanjutnya dan membantu menemukan strategi yang efektif. Pengalaman beberapa tokoh, seperti Marco
C. Alvino, putus kuliah tetapi sekarang hidup dari bisnis jagung; Maria
Calista, bermodal suara mengangkat keluarganya; atau Sudarmono, penyandang
disabilitas yang hidup dari menjahit, menjadi contoh riil orang-orang yang
bangkit dari kegagalan dan berstrategi dalam hidupnya. Memang tidak mudah mengungkap
kegagalan-kegagalan karena berarti mengakui kesalahan dan kelemahan, bisa
menjatuhkan semangat bahkan membuka aib, padahal ini adalah bagian untuk memperbaiki
diri dan menemukan bekal hidup yang baru.
Beberapa tekad peserta
untuk menghindari kegagalan adalah dengan memperluas jejaring dengan mengenal
orang, memetakan penyebab kegagalan, mengasah cara berbicara, melatih berbahasa
Inggris, memperoleh ketrampilan menjahit dan berbisnis. Jadi, anak muda
tetaplah optimis untuk melengkapi diri dan melangkah maju menghadapi masa
depan. Per Angusta Ad Augusta. (TRU).
Komentar
Posting Komentar