Merawat Toleransi di Sumba Timur
Refleksi Exploring Sumba oleh Mutiara Srikandi

Sebelum menginjakkan kaki di Sumba
banyak hal yang harus aku persiapkan dan pertimbangkan. Dari lingkungan, pola
hidup, dan agama yang totally berbeda dengan budaya Jawa pada umumnya.
Setelah mendapat informasi tentang tempat tinggal dan lingkungan yang akan aku
tinggali nanti, aku menyiapkan mental dan fisik jauh-jauh hari sebelumya untuk
memantapkan diri agar bisa menjalani program dengan baik.
Hari itu pun tiba. Dari jendela
pesawat hamparan savanna yang terlihat dari ketinggian menyita perhatianku. Tak
sabar rasanya aku untuk menjejakan kaki langsung di sana. Aku merasakan manuver
pesawat yang berbeda ketika akan mendarat di bandara Umbu Mehang Kunda di
Waingapu, yang mungkin karena bandara berada di antara bukit-bukit. Petualangan
di Sumba pun dimulai.

Sebagai orang baru di desa ini, tentu
saja kehadiranku mengundang banyak perhatian orang sekitar karena tingkah
lakuku yang lugu dan banyak bertanya membuat mereka tertawa dan menceritakan ke
keluarga mereka yang lain. Meski aku muslim, aku tidak merasa terkucil malah
mereka menerima dengan baik dan terbuka. Bahkan saat aku akan sholat mereka
tulus mengambilkan air untukku meskipun daerah di situ kekurangan air. Aku juga
datang ke gereja untuk memperkenalkan diri dan program kegiatan selama di
Sumba. Berkenalan dengan warga secara resmi di gereja menjadi bagian penting karena
gereja berperan di lingkungan sekitar dalam kehidupan masyarakat dan gereja
bisa menjamah hidup masyarakat secara menyeluruh.
Beberapa kali aku mengikuti acara
adat Sidi, Belis dan acara keluarga lainnya, ada yang unik ketika cium hidung,
dengan menempelkan hidung di hidung sebagai ungkapan selamat datang dan
kekerabatan. Tak kurang lima kali aku potong ayam secara syariat Islam, karena mereka
menghargaiku sebagai muslim di acara tersebut. Makan dan bercengkerama satu
sama lain dalam satu jamuan makan terlihat kontras saat aku makan ayam seorang
diri di tengah-tengah orang yang menyantap hidangan daging babi. Awalnya orang-orang
ragu, “Tidak apa-apa nona kami makan babi?” tanya salah seorang bapak yang
ragu-ragu menyantap kudapannya. “Tidak apa-apa, ayo silahkan makan”, jawabku,
sambil tersenyum padanya. Kami makan bersama dengan nikmat, menerima segala
perbedaan dan menghargai satu sama lain. Mereka menghargaiku yang makan daging
ayam seorang diri bahkan mereka tidak membiarkan satu tetes kuah daging babi
mengenai piringku. Mereka menjaga dengan baik dan aku menghargainya, ada timbal
balik yang indah yang aku lihat nyata.
Setiap hari minggu, aku di rumah menunggu
keluarga pulang gereja, mendengar bunyi lonceng gereja dan merasakan atmosfer pagi
hari yang begitu hangat. Setiap orang anak yang lewat mengucapkan salam
“selamat pagi” sebagai sambutan pagi dan ini berulang ketika orang-orang lewat.
Mereka ramah sekali, sembari melirikku sebagai tamu di desa itu. Aku senang berada
di antara masyarakat setempat yang sukacita meski hidup sederhana. Kehangatan
keluarga yang begitu terasa, membuatku iri karena aku tinggal di kota besar yang
sudah individualistis. Di sini sanak saudara gotong royong menyekolahkan
saudaranya, selain itu tidak ada rasa kuatir kekurangan makanan karena bisa
singgah makan di rumah keluarga lainnya. Kebersamaan lain aku temukan ketika
masyarakat berdendang bersama dengan tarian serempak yang biasa orang timur
lakukan, masing-masing berusaha menyelaraskan gerakannya menjadi gerakan yang
indah.
Perpisahan memang menguras air mata dan
keluarga baruku di Sumba mengucapkan terimakasih karena aku mau menerima
keadaan yang sederhana. Aku belajar banyak hal, dalam keberbedaan aku tidak
merasa terasing atau sendiri, malah aku merasakan sambutan dan perhatian yang
tulus. Budaya dan agama yang berbeda tidak menjadi pemisah malah menjadi sarana
belajar dan membangun toleransi yang memperkaya pengalaman hidup. Semoga Tuhan
menjaga kita selalu dalam kedamaian.
Sangat Menginspirasi
BalasHapus