Satu nusa satu bangsa satu bahasa kita,
tanah air pasti
jaya untuk slama lamanya
Indonesia pusaka, Indonesia tercinta,
nusa bangsa dan
bahasa kita bela bersama
Lantunan lagu
Satu Nusa Satu Bangsa, ciptaan L. Manik membuka diskusi mahasiswa ‘Bersama Merangkai
Indonesia’ oleh
Stube-HEMAT Yogyakarta di resto Den Nanny, Yogyakarta (23/01/2020). Lagu yang dinyanyikan
oleh tigapuluh
empat mahasiswa dari berbagai kampus ini mengingatkan kembali para mahasiswa
tentang komitmen kesatuan Indonesia di tengah keberagaman budaya, bahasa dan
agama. Dalam pembukaannya, Ariani Narwastujati, Direktur Eksekutif Stube-HEMAT menyampaikan
bahwa setiap kita saat ini bersama merangkai Indonesia dengan aneka ragam
latar belakang yang dimiliki. Keberagaman Indonesia membuat iri negara lain karena keberagaman seperti aksesori yang
indah, karenanya ada pihak-pihak yang berusaha memecah belah bangsa ini dengan
berbagai cara sehingga rasa kesatuan dan persatuan memudar. Kegiatan ini
menjadi wadah anak muda bertemu, berbagi pengalaman dan menjadi agen dalam merangkai
Indonesia. Stube-HEMAT sendiri, sebagai lembaga pendampingan mahasiswa, terbuka
untuk melayani mahasiswa menemukan jati diri masing-masing, siap berkontribusi
di daerah.

Beberapa
praktisi lintas iman memfasilitasi diskusi ini, seperti Totok Tejamano, S.Ag, (pimpinan
vihara Buddha Karangjati, Yogyakarta) berterimakasih kepada Stube atas dialog mahasiswa ini dan mengungkap bahwa hidup
tidak lurus-lurus saja, dunia kerja terkadang berbeda dengan yang dipelajari di
kampus, cumlaude penting tetapi
lengkapi dengan pengalaman sosial bersama masyarakat. Saat ini isu agama menjadi seksi karena
pembicaraan tentangnya terkadang tidak menghadirkan kedamaian tetapi meresahkan. Ini
salah satu upaya memecah
belah Indonesia karena kekayaan sumber daya alam dan energi menggoda siapa pun untuk menguasainya. Dengan
propaganda suku tertentu yang paling kuat, truth-claim
dalam agama dan kepentingan ekonomi dan politik menjadi alat memecah belah
bangsa. Kita sebagai mahasiswa mestinya bisa mengembalikan fungsi awal agama, yang
mendorong setiap orang peduli dan memiliki rasa kebersamaan dan bergerak untuk
kemanusiaan.

“Apakah para mahasiswa
bertemu dengan orang yang berbeda agama ketika masih di daerah? Bagaimana
pengalaman Anda ketika itu?” ini pertanyaan awal Pdt. Dr. Wahyu Nugroho M.A kepada peserta
yang ternyata
sebagian besar peserta telah berada di Yogyakarta lebih dari dua tahun. Ina,
salah satu peserta mahasiswa dari Manggarai mengungkapkan bahwa di daerahnya ada beragam
agama, Islam, Kristen dan Katolik yang sangat akrab. Ketika Natal dan Paskah pemeluk Islam
ikut merayakannya dan sebaliknya ketika Idul Fitri dan Idul Adha pemeluk
Kristen dan Katholik pun ikut merayakannya, tidak ada gejolak di masyarakat. Ada pengakuan mahasiswa yang kesepian
ketika Paskah dan Natal di Yogya karena tidak semeriah dibanding daerah asalnya
di kawasan timur Indonesia, dekorasi dan asesoris perayaan natal mudah ditemui
di sepanjang jalan. Dalam paparannya, Pdt. Wahyu Nugroho menjelaskan bahwa
ada pemahaman co-eksistensi dan pro-eksistensi dalam kehidupan bersama dalam keragaman.
Co-eksistensi memiliki makna hidup berdampingan secara damai, tidak saling mengganggu, tetapi tidak ada
interaksi bersama, sementara pro-eksistensi dimaknai sebagai
hidup berdampingan
secara damai dan masing-masing
pihak saling mendekat untuk menumbuhkembangkan kebersamaan dan terjalinnya kerjasama.
Pengalaman
perubahan hidup dalam interaksi keberagaman diungkapkan oleh Eko Prasetyo, SH dari Social Movement Institute (SMI). Di masa kecilnya ia belajar di sekolah
Katholik dan melanjutkan
ke pondok pesantren dan melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Di kota ini ia
menghadapi lingkungan
yang sama sekali berbeda, bahkan seperti kontradiksi apa yang ia jumpai di pesantren dengan ketika kuliah, ia bertemu dengan
mahasiswa berbagai daerah, kalangan dan
latar
belakang ilmu, suku
dan agama yang akhirnya menjadi titik
baliknya untuk
berinteraksi dengan semua orang sekaligus bergerak melawan masalah sosial dan
ketidakadilan di masyarakat.


Dalam
simpulan diskusi disampaikan bahwa meskipun dalam agama dan budaya yang sama, tetap ada realita perbedaan pemahaman di masyarakat. Ini yang menjadi tantangan
bagi setiap orang bagaimana menyikapi perbedaan sebagai keragaman. Mahasiswa sebagai anak
bangsa dituntut cerdas
dalam bersikap di tengah keberagaman yang ada, mengikis prasangka satu sama
lain dan waspada terhadap radikalisme, dan bergerak bersama dalam interaksi
lintas agama dan lintas budaya. Jadi penting adanya pengalaman perjumpaan antar umat
beragama untuk membentuk pemahaman saling menghargai yang kemudian disimpan dalam pikiran masing-masing dan pentingnya penekanan
pada ajaran agama
yang menjunjung tinggi dan mengakui adanya perbedaan diluar doktrin agamanya
sendiri. Tantangan generasi muda saat ini adalah bagaimana menjadi
penggerak sekaligus agent of change
dengan membuka
diri dan memperkaya pemahaman dengan berbagai pengalaman baru dalam mengkampanyekan
keberagaman dan toleransi dalam masyarakat Indonesia. (TRU)
Komentar
Posting Komentar