‘Kita adalah
Indonesia, bersama merangkai Indonesia’ diungkapkan oleh tiga puluh mahasiswa
peserta pelatihan Multikultur dan Dialog Antar Agama yang diadakan oleh
Stube-HEMAT Yogyakarta pada tanggal 6-8 Maret 2020 di Wisma Pojok Indah,
Yogyakarta. Mereka adalah
mahasiswa
dari berbagai daerah di Indonesia, beragam etnis, agama dan latar belakang
studi. Selanjutnya dalam pembukaan, Pdt. Em. Bambang Sumbodo, M.Min, yang juga
board Stube-HEMAT mengingatkan peserta tentang keunikan negara Indonesia dengan
Bhinneka Tunggal Ika. Dengan berkembangnya jaman dan teknologi, keunikan ini
menjadi tantangan yang tidak mudah ketika ada masalah menyangkut suku, agama,
ras dan golongan, akankah kata-kata positif yang terucap? Melalui firman ia mendorong
peserta mengungkapkan kata-kata positif agar masyarakat yang majemuk ini tetap bersatu.
Berkaitan
dengan keberagaman di Indonesia dan Stube-HEMAT, Ariani Narwatujati, Direktur
Eksekutif Stube-HEMAT menekankan pentingnya mahasiswa secara bersama merangkai
Indonesia, bukan sembarang merangkai tetapi menyusun kepingan yang berbeda
menjadi kesatuan gambar yang lengkap. Ini semangat Stube-HEMAT sebagai wadah
belajar mahasiswa dengan beragam latar belakang, daerah, agama, budaya dan
program studi, bahkan mendorong mahasiswa ketika selesai kuliah untuk
mengembangkan hal-hal positif di daerah asalnya. Melengkapi perkenalan Stube,
Mutiara Srikandi, menyampaikan pengalaman peserta program Exploring Sumba,
sebagai mahasiswa muslim ia benar-benar merasakan toleransi masyarakat Sumba
yang sebagian besar Kristen Protestan, “Pada dasarnya, kita mesti memberanikan
dan membiasakan diri berada di daerah yang plural, kita bisa berdampingan tanpa
merusak keyakinan kita sendiri” ungkapnya.
“Interaksi
lintas iman sebenarnya sudah dilakukan oleh mahasiswa dalam kehidupan
sehari-hari di kampus, tempat tinggal mereka masing-masing, namun belum sampai
pada dialog lintas iman” papar Pdt Dr. Wahyu Nugroho, MA. Perkembangan
teknologi yang semakin maju menjadi tantangan interaksi lintas iman, karena rujukan
informasi cenderung bersumber pada dunia maya baik itu informasi yang valid
maupun abal-abal, kemudian berkembangnya media sosial di sisi lain membuka
ruang interaksi antar manusia dan menjalin hubungan tetapi di sisi lain
mengurangi perjumpaan antar manusia yang beragam latar belakang. Padahal
perjumpaan secara langsung inilah bisa menjadi pengalaman berharga dan ruang
dialog untuk menjawab rasa ingin tahu dan menumbuhkan rasa toleransi dan
solidaritas.
Dalam sesi menelisik
jejak agama-agama di Indonesia, Muryana, S.Th. I, M.Hum, mendorong peserta tidak
hanya mendalami agamanya sendiri tetapi juga mengenal agama lain dan
kepercayaan lokal di Indonesia karena ini akan memperkaya pemahamannya, misalnya
buku dengan tulisan arab tidak selalu berkaitan dengan Islam, masuk ke gereja
dianggap menjadi Kristen dan kepercayaan lokal dianggap tidak benar. Bahkan
pengaruh agama dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia akan terungkap,
seperti Buddha pada masa kerajaan Sriwijaya, Hindu saat kerajaan Singosari dan Majapahit, zaman
Islam bersama para wali dan kekristenan yang masuk ke Indonesia diawali oleh
penginjil dari Eropa, termasuk keberadaan kepercayaan lokal misalnya Marapu di
Sumba, Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Kaharingan di Kalimantan.
Melengkapi pengalaman berdialog antar agama peserta melakukan eksposur kelompok
ke Kelenteng Poncowinatan, Pondok Pesantren Lintang Songo Piyungan, Pura
Jagadnatha dan Vihara Budha Karangdjati untuk mengenal lembaga dan dinamikanya,
menggali pendapat pemuka agama tentang keberagaman di Indonesia dan menemukan
peran mereka dalam masyarakat yang multikultur. Kemudian melalui film Aisyah
Biarkan kami bersaudara, Beta Mau Jumpa, Atas Nama Percaya dan Tanda Tanya
mengasah kesadaran dan analisa mereka tentang realitas kehidupan antar umat
beragama.
Sebagai tindak
lanjut pelatihan ini peserta merancang aktivitas secara pribadi maupun
kelompok, seperti membagikan materi dan pengalaman pelatihan bersama komunitas
mahasiswa daerah, kampus, pondok pesantren dan gereja, menulis pengalaman
dialog lintas iman dan artikel tentang multikultur, keberagaman pangan dan
toleransi, membuat vlog dan film pendek tentang keberagaman dan toleransi
kemudian diposting di media social, bahkan merancang pertemuan anak muda lintas
agama di kampung halaman.
Perbedaan
jangan menjadi alasan untuk perpecahan melainkan tempat untuk belajar dan
menumbuhkan toleransi. Sudahkah kita bersyukur atas keberagaman bangsa ini,
sudahkah iman percaya kita berdampak baik bagi kemanusiaan? Mari kita wujudkan kedamaian
bagi bangsa ini, mari bersama merangkai Indonesia. (TRU).
Komentar
Posting Komentar