Isu intoleransi marak di Indonesia dan selalu diperbincangkan masyarakat baik dalam obrolan sehari-hari, media sosial, sampai seminar oleh akademisi, organisasi mahasiswa dan praktisi komunitas berkait tema
Kebhinnekaan
dan Pancasila sebagai penegasan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kenyataan bangsa ini yang beragam, wilayah geografis,
penduduk, budaya dan agama. Awalnya isu intoleransi menjadi
pertanyaan dalam
diri saya karena selama
di Nias saya hidup dalam lingkungan keluarga, sekolah dan gereja yang interaksinya cukup baik, identik
dengan masyarakat Nias atau ‘Ono
Niha’ dan
beragama Kristen Protestan maupun Katolik.
Karena mayoritas kristiani ini ada
satu tradisi unik, yaitu tiada pesta
tanpa babi, artinya setiap
acara adat seperti pesta
pernikahan, kedukaan, syukuran dan penyambutan tamu selalu menyediakan ‘zimbi mbawi’ sebagai simbol
kebersamaan.
Pada perkembangannya, orang-orang datang dari pulau Sumatera dan Jawa tinggal di Nias
karena pekerjaan dan perdagangan. Sebagian dari mereka
beragama Islam dan memakai nama marga Nias dan perlahan
terbentuk interaksi baru dalam
masyarakat Nias yakni
suatu kelompok masyarakat yang
hidup berdampingan dalam perbedaan. Namun,
tidak dapat dipungkiri pada awalnya kurang
senang ketika seorang
guru
beragama lain
tidak mau makan makanan
selain dari warung
makan yang dikelola orang seagamanya,
suara speaker masjid yang setiap sore
begitu keras terdengar, berita tentang teroris
yang dilakukan oknum agama tertentu, termasuk
persepsi awal saya
terhadap Katholik,
Budha, Hindu, Konghucu adalah agama yang menyembah patung. Itulah serpihan-serpihan
pengalaman yang terus ada dalam pikiran saya.
Setelah melanjutkan
studi di Yogyakarta untuk kuliah Ilmu Pemerintahan di STPMD
“APMD” Yogyakarta, saya tinggal di kost
bersama mahasiswa dari berbagai daerah yang berbeda suku dan agama. Perbedaan sangat saya
rasakan dan mendorong rasa ingin tahu saya tentang
berbagai hal termasuk agama dan sebagian dari mereka memberi respon baik meski sebagian tidak.
Di sini saya
belajar menghayati
kekhasan sendiri sebagai jati diri
sekaligus terus
beradaptasi dengan sekitar. Namun demikian, pemberitaan
politik identitas,
terlebih tentang agama,
mayoritas dan minoritas,
pribumi dan pendatang
marak di
media sosial. Dari sudut pandang Ilmu Pemerintahan,
isu ini menarik perhatian saya untuk ditelisik
lebih dalam mengapa terjadi, dengan mengikuti
sejumlah diskusi dan seminar dari berbagai
lembaga di Yogyakarta termasuk Stube
HEMAT Yogyakarta dengan tema Bersama Merangkai Indonesia di mana saya
menjadi bagian di dalamnya.
Dari pelatihan ini saya
merefleksikan bahwa dalam hidup sehari-hari sikap eksklusif tentang diri sendiri, suku maupun agama bisa muncul bukan
secara tiba-tiba, tetapi akumulasi peristiwa-peristiwa sebelumnya dari
pengalaman pribadi, lingkungan dan media.
Pola pendidikan
saat ini belum
mampu mengakomodir dan menjadi sarana
penyadaran dan penerimaan terhadap keberagaman.
Media juga
berperan besar dalam membentuk cara pandang masyarakat yang mudah ‘melahap’ informasi. Mahasiswa perlu ruang
untuk berjumpa langsung
dengan orang lain yang berbeda karena
mahasiswa tidak bisa mendapat informasi dari media saja. Keberanian diri bertemu dan berdialog dalam perbedaan
akan membongkar ‘truth
claim’ yang cenderung menghasilkan kecurigaan, sikap eksklusif, stigma dan stereotype, sehingga mahasiswa memiliki pencerahan dan pemikiran baru
tentang hidup berdampingan di tengah keberagaman. (Putri Laoli).
Komentar
Posting Komentar